27/08/2017

Ojo Lali Bahagia!

Mungkin hanya itu yang ingin disampaikan Ki Ageng Suryomentaram pada ceramahnya di Surakarta pada tahun 1931. Ia menganggap bahwa hidup dan kehidupan adalah bagian dari takdir yang memang harus terjadi. Tentang Kawruh Jiwa, istilah itu pertama kali saya dengar ketika mengikuti forum mahasiswa Psikologi Kediri, Sabtu kemarin (26/8).

Diskusi pagi itu bertemakan Raos Mardika yang merupakan kajian dari wejangan Ki Ageng sendiri. Tentu saya masih sangat asing dengan pembahasannya. Tapi, saya berangkat tidak dengan tangan kosong, sebelum duduk melingkar dengan kawan-kawan Srawung Psikologi Kediri di Pendhapa Sekolah Alam Ramadhani, seminggu terakhir ini pikiran saya tengah sibuk dengan buku milik Paulo Freire, Pendidikan Kaum Tertindas. Dimana di dalam buku itu menjelaskan tentang pendidikan sebagai kegiatan menabung; murid adalah celengan sedangkan guru adalah penabung. Sehingga kegiatan para murid hanya terbatas pada menerima, mencatat, dan menyimpan. Mereka tidak dibebaskan untuk menjadi tuan bagi pemikirannya sendiri.

21/07/2017

Sound Good Doesn’t Work


Masih di nuansa Kuliah Kerja Nyata (KKN). Ketika menulis ini aku sedang duduk menghadap pintu samping rumah sambil mendengarkan lagu-lagu dari Taylor Swift. Ku lirik jam digital pada laptop, terbaca pukul enam lebih empat puluh lima menit. Kontrakan masih sunyi, ruang-ruang kamar pintunya masih terkunci, begitu juga kasur-kasur, sepertinya empuknya masih menjadi andalan mereka yang merasa mimpi di malam harinya belum sampai tamat. Tapi, di antara teman-teman sekontrakan yang lain, mungkin hanya aku yang memutuskan untuk tidak tidur lagi selepas shubuh. Bukan karena wirid atau dzikir sehabis sholat, tapi, karena sibuk stalking sana stalking sini. Hahaha

Sebelum duduk di atas karpet dan berhadapan dengan laptop milik seorang kawan ini, aku sempatkan untuk membuka pintu yang menghalangi sebagian terangnya matahari masuk ke dalam rumah. Dari sanalah udara pagi menyapaku, membawaku pada ide-ide itu. Sound Good Doesn’t Work. Pas sekali dengan atmosfer KKN; bergelut dengan kerja sama, berpikir dan bekerja cerdas. Bukan sebaliknya. Kerja sendiri-sendiri, berpikirnya cerdas, tapi aksinya kandas.

Kini di suasana KKN, dengan kepribadian dan karakter yang berbeda-beda, kita di tuntut untuk hidup berdampingan, memecahkan masalah, dan bekerja sama dalam berbagai hal. Tujuannya tidak lain dan tidak bukan adalah untuk menyelesaikan tugas dalam satu hingga dua bulan lamanya. Bukan waktu yang sebentar. Dalam kurun waktu itu juga, kita akan menemui banyak orang-orang baru, dari berbagai perbedaannya, (bisa jadi) ada dari mereka yang memiliki gagasan-gagasan cemerlang akan suatu hal, tapi minus pada tindakan yang konkret. Nah, ini dia sikap yang begitu ingin ku hindari bagaimana pun juga. Karena pada dasarnya berbicara memang selalu mudah daripada melakoninya. Iya kan?

Tapi, beruntungnya, aku dipertemukan dengan orang-orang yang bisa diandalkan. Tidak ada yang ku keluhkan selama hampir tiga minggu disini. Masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangannya sendiri. Bak porsi yang pas. Nah, melalui porsi itu lah, aku belajar menempatkan diri sesuai dengan kemampuanku. Berusaha tidak hanya terdengar bagus di setiap gagasan-gagasanku. Tapi, menyeimbangkan antara keduanya. Bagiku, sekaranglah momen yang pas untuk belajar. Kamu juga ya!

Bagaimana pun tulisan ini hanyalah reminder bagi penulis. Tidak ada maksud untuk sound good saja. Pun juga tidak merasa telah do work atau totaly action. Mari melihat ke dalam, sudah sampai mana kemampuan kita berlabuh.

21/06/2017

Kebenaran itu Kompleks #2

Baca ini dulu yaaa, Kebenaran itu Kompleks #1

"Kenapa kamu suka membaca?" akhirnya pertanyaan ini ia sampaikan padaku.

Kali ini aku tidak berkedip, dengan mantap aku katakan, "karena aku butuh".

Ada banyak alasan yang melatar belakangi mengapa seorang teman akhirnya mengajukan pertanyaan itu padaku. Perkiraanku. Karena ia masih merasa asing dengan orang-orang yang menggunakan waktu senggangnya untuk membaca. Bahkan dalam konteks ini aku pernah membahasnya dengan seorang teman (yang lain) di suatu waktu. Bahwa baginya untuk membawa buku tanpa menyimpannya dalam tas adalah suatu hal yang ia sebut "pamer", aku definisikan itu sebagai bentuk "pencitraan", mungkin begitu maksudnya. Kemudian aku simpulkan, bahwa membawa saja telah memberikan penilaian seperti itu, apalagi membaca di depan orang-orang yang tidak membaca. Bagaimana menurutmu?

Entahlah. Aku tidak yakin apakah aku hidup di negara yang masyarakatnya membaca atau tidak. Tapi, jika berpijak pada data statistik dari UNESCO, kita bisa menyimpulkan bahwa hanya segelintir orang Indonesia yang membaca. Meskipun di sisi lain kita tahu, toko atau bazar buku tidak pernah sepi dari pelanggan. Jadi, mana yang benar? Ah, jangan jauh-jauh, coba lihat saja sekitarmu, atau bahkan dirimu sendiri, sejauh mana kegandrunganmu terhadap buku? Kemudian simpulkan sendiri. Atau bagaimana penilaianmu jika melihat seseorang yang tengah membaca buku di teras mushola sepertiku ketika jam istirahat, apakah hal itu begitu asing bagimu? Jika iya, berarti benar, kita memang hidup di tengah-tengah masyarakat gerilya, dimana kegiatan membaca tidak perlu diperlihatkan. Karena membaca bagi kita adalah kegiatan yang begitu elit, hanya orang-orang pintar dan berpendidikan yang melakukan itu. Artinya, membaca buku di depan umum sama saja menunjukkan bahwa "aku pintar, aku berpendidikan". Begitukah?

19/06/2017

Kebenaran itu Kompleks #1

Siang itu, di jam istirahat setelah mengajar beberapa materi Pondok Romadhon, aku memilih duduk-duduk bersama pengajar yang lain di teras mushola sekolah. Sambil mengeluarkan buku dari dalam tas, aku memutuskan untuk membacanya. Buku yang ku pinjam dari seorang dosen psikologi di kampusku memang begitu menarik perhatianku. Dari sekian banyak judul buku di rak taman bacanya, seakan-akan hanya judul itu yang mendesakku, seperti memintaku untuk membawanya pulang. "Perempuan Berbicara Kretek" begitu kalimat yang tertera di halaman sampulnya.
Source : Google


Memang ada beberapa alasan mengapa aku tertarik dengan buku itu, salah satunya karena seorang teman lelaki perokok yang beberapa kali sempat menghabiskan makan siangnya bersamaku, membuatku menjadi sering memperhatikan rokok dan rentetan aktivitas yang menyertainya, juga stigma yang kuberikan padanya (rokok). Tapi, bukan seorang perokok itu yang ingin aku tulis. Juga bukan buku yang sedang ku bawa. Namun, sebuah pertanyaan dari seorang teman yang siang itu sedang duduk di sebelahku, ia sering memperhatikanku membaca buku di jam-jam istirahat. Hingga akhirnya ia mengawali sebuah percakapan dengan pertanyaan ini, membuatku menutup buku dan berdiskusi sedikit dengannya.

"Nyapo awakmu kok seneng nulis?" (Kenapa kamu suka menulis?)

Aku berkedip sekali, tidak serta merta menjawab pertanyaannya, menandakan bahwa aku masih berpikir. Bisa jadi, karena aku tak memiliki alasan yang spesifik, mengapa aku menyukai menulis. Akhirnya aku menjawab sekenanya. "Karena dengan menulis sama saja dengan mengaktifkan otak secara keseluruhan (otak kanan dan otak kiri). Menulis adalah kegiatan menyampaikan ide atau gagasan. Kita tahu bahwa kegiatan tersebut adalah kerja dari otak kanan. Sedangkan otak kiri berperan dalam editing, dari stitulah mengapa sebuah tulisan mudah dipahami. Otak kiri kita bekerja bersamaan dengan otak kanan, ketika otak kanan sibuk menuangkan ide ke dalam tulisan, otak kiri secara aktif mengatur kata demi kata agar pesan dari setiap kalimat bisa tersampaikan," jawabku.

"Jadi dari segi manfaatnya lah alasanmu suka menulis?" tambahnya.

Aku berkedip lagi.

"Tidak," jawabku singkat. Aku hanya menjawab tidak, karena tentu bukan itu alasanku. Seseorang menyukai menulis bukan karena ia mengatakan "suka" kemudian pada saat itu juga ia "menulis". Bukan juga karena menulis memiliki seabrek manfaat kemudian hal itu menjadikan seseorang seketika "menulis". Tidak.

"Kenapa kamu suka membaca?" akhirnya pertanyaan ini ia sampaikan padaku.

Kebenaran itu Kompleks #2

21/04/2017

Emansipasi Salah Fokus

Gadis yang pikirannya sudah dicerdaskan, pemandangannya sudah diperluas, tidak akan sanggup lagi hidup di dalam dunia nenek moyangnya (R.A. Kartini)

Selamat Hari Kartini untuk semua perempuan Indonesia di manapun kalian berada.



Beberapa perayaan telah berlangsung di sudut-sudut kampung juga di lembaga pendidikan. Sekumpulan perempuan menggunakan kebaya dan juga konde. Tidak hanya itu, berbagai perlombaan juga memeriahkan Hari Kartini. Sekilas, perayaan-perayaan tersebut hanyalah bersifat “ceremonial” yang minim makna akan perjuangan yang sebenarnya. Semua hanya memberikan kesan euphoria. Padahal, dibalik itu, sejarah mencatat perjuangan emansipasi perempuan oleh Kartini melalui surat-suratnya.

Perjuangan Kartini bisa dikatakan berawal dari sebuah pertanyaan yang diajukan seorang kawan kepada dirinya. “Apa cita-citamu?”. Berawal dari situlah Kartini mempertanyakan kepada dirinya sendiri, ingin menjadi apa ia suatu hari nanti. “Apalagi kalau bukan menjadi Raden Ayu,” jawab bapaknya. Mendengar jawaban itu, Kartini sumringah sekaligus bingung. Apa maksud dari menjadi Raden Ayu? Ternyata Raden Ayu adalah gelar kebangsawanan Jawa yang diberikan kepada seorang perempuan keturunan ningrat yang menikah dengan seorang laki-laki yang tidak ia kenal. Mengetahui itu, Kartini menolak.

24/03/2017

Pada Dasarnya Semua Orang (Bisa) Baik

Pernahkah kalian membenci seseorang?
Apa yang kalian benci?
Sosoknya ataukah sikapnya?



Bagiku keduanya berbeda. Meski ada yang beranggapan bahwa keduanya sama, dengan asumsi bahwa sikaplah yang membentuk seseorang. Tapi, bagiku sebaliknya. Seseorang tidak ditentukan oleh sikapnya. Bahkan, banyak dari kita yang mengalami pertentangan antara hati dan pikirannya, apalagi dengan sikapnya. Aku, dengan sepenuh hati percaya, bahwa pada dasarnya semua orang bisa baik, bisa pula tidak. Karena setiap orang pasti memiliki potensi untuk baik. Jika membenci, pertama kali yang ku benci bukanlah sosoknya, tetapi sikapnya.

Secara personal, mulai  dari garis matanya, senyumnya, bahkan warna kulitnya, tidak ada yang ku benci. Orang mudah membenci hanya karena ras. Warna kulit. Belum lagi jika berbicara perbedaan manusia karena agama, status ekonomi, atau keyakinan politik bahkan partai yang mereka ikuti. Mereka bisa saja dicap ini itu dengan mengabaikan esensi bahwa pada dasarnya setiap orang adalah baik. Hanya sikapnya yang membuatnya berbeda, bukan ras, bukan profesi, dan bukan bukan yang lain. Kita berbicara tentang sikap. Kita berbicara tentang akhlak. Bahwa bukan akhlak yang membentuk kita. Tapi kitalah yang membentuk akhlak. Memutuskan menjadi apa kita, bukan sebaliknya. Kita bukan ditentukan oleh hal-hal yang ada diluar kita. Tapi kitalah pengendali penuh atas diri kita sendiri.

Pembahasan ini bisa jadi akan sangat melebar. Bahwa di mata sang pencipta, makhluk-Nya adalah sama. Bahwa di mata negara, warganya dikenai hukum yang sama. Bahwa di mata perseorangan, antar sesama memiliki penilaian yang berbeda. Tapi, di mataku, pada dasarnya semua orang adalah baik.

Semoga kalian memiliki interpretasi yang sama dengan apa yang aku maksudkan.

Berbicara tentang itu aku pikir penting. Melihat perpecahan sering terjadi karena kita tidak memahami apa yang kita benci. Bahwa persoalan organisasi bisa mengakibatkan perpecahan antar perseorangan. Bahwa perdebatan di bangku kuliah menimbulkan perkelahian di luar lingkungan kampus. Bahwa persoalan warna kulit menyebabkan diskriminasi individu, kelompok, maupun golongan. Sebenarnya bukan sosoknya yang kita benci. Tapi persoalannya. Mari kita bahas dengan santai. Kalian ikut organisasi? Aku kira bukan hal asing lagi jika berbicara tentang pertentangan. Di dalam organisasi setiap anggota memiliki misi yang sama, tapi tidak bisa dinafikkan bahwa di setiap kepala pasti memiliki ide cemerlangnya masing-masing. Perbedaan ini lah yang membawa pada pertentangan. Sebabnya, bisa jadi karena cara penyampaian pendapat yang tidak mengenakkan. Bisa jadi dengan cara menjatuhkan atau meremehkan ide orang lain. Dari sini kita tahu, bahwa ini adalah perihal sikap. Tapi sayangnya, setelah urusan organisasi selesai, kebanyakan dari kita membawanya keluar dan membesar-besarkannya. Bahwa karena hal itu seseoarang bisa saling membenci. Pertanyaannya, apa yang kalian benci? Sosoknya kah atau sikapnya?

Aku menawarkan cara berpikir ini. Bencilah sikapnya tapi maafkanlah orangnya. Percayalah bahwa pada dasarnya setiap orang memiliki potensi untuk baik.

Coba  kita diskusikan lagi. Bagaiamana jika seseorang tadi menyampaikan pendapatnya dengan santun dengan tidak menjatuhkan yang lainnya? Tentu  saja. Respon akan berbeda. Dengan begitu kalian akan menyukai caranya mengemukakan pendapat. Saya ulangi. Bahwa kalian menyukai caranya. Bukan karena orangnya. Sama halnya dengan membenci. Kita membenci cara atau sikapnya, dan seharusnya bukan  orangnya.

Cobalah untuk memahami, sebenarnya apa  yang kalian benci. Agar kalian tidak mudah membenci seseorang secara personal.

Lantas, bagaimana dengan orang yang dibenci? Jika kalian memahami dan mengamini konsep bahwa pada dasarnya setiap orang adalah baik, tapi hanya kamu yang memahami itu, sedang orang yang membencimu tidak. Maka belajarlah bersikap baik. Karena yang membencimu tidak memahami dan meyakini konsep ini, karena itu mereka memutuskan untuk membenci sikapmu sekaligus dirimu.  Memilih menjadi orang yang tidak pemaaf.

Pahami konsep ini agar kita menjadi pemaaf. Aku juga sedang berusaha dan mencoba. Mari berdoa untuk setiap kebaikan yang kita usahakan.

Tulisan ini ku buat untuk Fandi Ilyas, teman baik yang mengajariku banyak hal. Terimakasih atas pertemanan sekaligus perdebatan. Jangan ada kata maaf diantara kita hahahaha

01/01/2017

Kenali Dirimu Lebih Baik #2

Baca ini dulu yaa, Kenali Dirimu Lebih Baik.

Semua itu berawal dari keinginanku untuk mencoba hal-hal baru. Namun disisi lain, aku menyadari bahwa aku sedang dibatasi oleh sebuah prioritas menjadi seorang mahasiswa. Sehingga, membuatku berpikir dua kali jika harus mengikuti kegiatan selain perkuliahan. Yang menjadi ketakutanku adalah, jika aku mengikuti kegiatan ini maka kuliahku terabaikan,atau jika aku mengikuti kegiatan itu membuatku ketetaran, apalagi mengikuti ini dan itu, ah payah. Tetap saja,rasa takutku itu mengalahkan segala-galanya. Membuatku lama mengambil keputusan.

Semester satu. Masih teringat di benakku masa-masa ospek dan inagurasi. Awal menjadi mahasiswa baru memang begitu menyenangkan. Melepas seragam putih abu-abu dan beralih ke baju apa saja sesukamu, hahaha. Ya, masih di suasana adaptasi. Menyelami dunia kampus dan seisinya, berkenalan dengan makalah dan revisiannya, mencoba akrab dengan diskusi di setiap pertemuan juga dosen pengampunya, ah, dan banyak hal. Begitulah, semester dini bagiku.


Memasuki bulan ketiga, aku bertemu dengan LPM (Lembaga Pers Mahasiswa) di kampusku. Bukan bertemu sih, tapi, lebih tepatnya mencari-cari. Aku memang sengaja pergi untuk dicari mengikuti kegiatan itu, karena pada dasarnya aku suka menulis dan blablabla. Tapi ternyata, LPM tidak sesederhana itu.



Semester dua. Iya, aku memutuskan berhenti dari LPM. Padahal semester lalu wis bahagia menjadi bagian dari mereka dengan berbagai kegiatannya yang “uw gue banget!”. Kenapa berhenti? Tidak lain dan tidak bukan adalah karena, “mau fokus kuliah dulu mbak,” wakakak. Akhirnya kehidupan yang membosankan mulai menyergapku. Menjadi mahasiswa kupu-kupu (kuliah pulang) membuatku kuper dan tidak berkembang sama sekali. Tapi IPK naik kok, dari 3,66 jadi 3,69. Proses memang tidak pernah menghianati hasil. Tapi what else? Cuma itu?

Semester tiga. Mulai bosan dengan kuliah pulang, akhirnya aku memutuskan untuk mengajar privat anak SD. Tidak hanya itu, aku juga diberi kesempatan untuk menjadi guru ngaji. Lengkap sudah, sesuai dengan apa yang diharapkan bahkan lebih. Selama semester ganjil ini,aku menghabiskan setengah waktu untuk membantu mengerjakan PR, membantu menghafal aksara jawa, dan lain sebagainya. Lumayan menyita waktu, hingga IPK turun menjadi 3,62.

Semester empat. Masih dengan rutinitas yang sama sepulang kuliah. Namun, ada tambahin lagi selepas maghrib. Anak-anak sekitar rumah dengan tanpa di undang tiba-tiba datang membawa PR dan tugas sekolah lainnya, meminta untuk diajari. Baiklah, apa yang akan terjadi dengan IPK ku jika baru jam 9 malam aku usai dari rutinitas? Akhirnya aku bertemu dengan angka 3.61. Tapi, entah mengapa aku mulai tidak mengambil pusing akan hal itu. Karena semester empat menyuguhiku sebuah pengalaman baru.

Aku bertemu dengan seorang guru ngaji dengan metode ummi. Ya, sebenarnya aku sempat tidak lulus BTQ (Baca Tulis Qur’an), dari situ aku mengikuti pogram dari kampusku. Keberuntungan bagiku bertemu dengan seorang guru ngaji yang bisa menunjukkan letak kesalahanku selama ini, dari situ aku menyadari bahwa bacaan Qur’an ku belum begitu baik dan benar. Akhirnya, setelah selesai mengikuti program dari kampusku dengan hasil yang sangat memuaskan, aku mendapatkan kesempatan emas bertemu dengan guru ngaji lagi. Semua itu mungkin tidak akan menghampiriku jika aku tidak memberanikan diri keluar dari zona nyamanku. Ceritanya panjang! Intinya, terimakasih perjalanan hidup!

Semester lima. Selamat datang di zona rawan, hahaha. Rawan kecelakaan. Iya, di semester ini lah aku mulai belajar banyak. Aku memutuskan kembali ke LPM, aku mengikuti magang yang diadakan Telkomsel, aku bekerja sebagai admin di sebuah LBB (Lembaga Bimbingan Belajar), dan aku kuliah. Habis sudah semua perhatianku. Kuliahku tidak benar-benar berantakan, tapi aku mulai mengerjakannya secara formalitas, dan itu sudah keluar dari kesepakatan bahwa kuliah adalah prioritas. Tapi, sungguh, tidak ada yang terabaikan, aku bisa melakukan semua itu sekaligus, tidak ada yang dikorbankan, semuanya selesai. Tapi, mungkin di akhir cerita aku lah korbannya.
Iya, memang aku lah yang berkorban dan akulah korbannya.
***
Menjadi seorang mahasiswa yang hanya sibuk dengan makalah dan presentasi adalah sebuah prioritasku, pada awalnya. Entah semuanya berbanding terbalik, sejak aku menginjakkan kakiku ke luar dari kotak kecil yang selama ini aku huni. Iya, aku mulai melawan rasa takut, memutuskan keluar dari zona ternyamanku, dan menjadi aku yang hari ini, menjadi lebih berarti.

Jika kalian belum menemukan poin dari apa yang sudah aku tulis, jujur aku tidak keberatan untuk menyampaikan kesimpulan atau maksud dari tulisan ini. 

Pada awalnya, aku keberatan jika harus mengikuti kegiatan selain persoalan makalah atau presentasi dan semacamnya. Hal itu lebih kepada ketidak yakinan diriku sendiri. Aku tidak yakin bisa membagi waktu antara LPM dan kuliah, hal itu lah yang membuatku memutuskan berhenti menjadi bagian dari mereka di semester 2. Masuk di semester tiga dan empat, bertemu dengan rutinitas baru yakni ngelesi, ternyata aku bisa melakukan dua hal sekaligus. Padahal, kegiatan itu lebih banyak menyita waktuku dibandingkan dengan LPM.

Kemudian, apa yang terjadi di semester lima, aku mengerjakan empat hal sekaligus; kuliah, kerja, magang, dan organisasi. Nyatanya aku bisa, dan semuanya selesai. Ini hanya masalah aku berani atau tidak memastikan sesuatu─aku bisa melakukannya atau tidak. Dan semua itu bisa kubuktikan dengan cara mencobanya. Mengukur sendiri seberapa jauh kaki ini melangkah, dan seberapa cepat diri ini berlari. Ya, kuliah sambil melakukan kegiatan yang lain membuatku membagi perhatianku sendiri, dan tentu hal itu mempengaruhi hasilnya, IPK ku turun tapi aku mendapatkan pengalaman baru setiap harinya, dan menurutku itu adil.

But, ini adalah perjalanan hidupku, sejauh ini aku hanya berbicara tentang diriku sendiri. Bisa jadi, jika itu kamu atau yang lainnya yang mencoba, hasilnya akan berbeda. Mungkin kamu bisa mengerjakan banyak hal dengan hasil yang sama-sama memuaskan, IPK mu tetap atau bahkan lebih baik, juga pengalaman hidupmu bertambah.

So, guys, sebenarnya kita memang pengendali penuh atas diri kita sendiri, tapi kadang kita juga tidak tahu terbentuk dari apa kita dan apa saja yang bisa kita perbuat dan hasilkan. Bisa jadi kamu punya potensi menjadi pesulap? Tapi, karena kamu tidak pernah mencoba, alhasil kamu tetap jadi dirimu yang biasa-biasa saja di dalam kotak kecil itu. Dibandingkan dengan aku, aku sudah mencoba banyak hal selama aku masih duduk dibangku kuliah, aku telah membuktikan bahwa aku bisa melakukan dua, tiga, empat hal sekaligus dalam satu waktu, dan semuanya selesai, tidak mengecewakan, meskipun jika aku melakukannya dengan focus akan membuahkan hasil yang lebih memuaskan. Everyone know it. Tapi, karena terlalu focus, tekadang kita mematikan peluang untuk maju, menjadi lebih baik, lebih berarti. So, kenali dirimu lebih baik ya!

Btw, coba lah bereksperimen dengan dirimu sendiri, gali pengalaman emas sebanyak-banyaknya. Tapi, kamu harus ingat, bahwa semua itu bisa dilakukan dengan tidak mengabaikan lelah dan dahagamu, ada hal yang lebih penting daripada sekantong emas, semua orang tahu, ia bernama kesehatan. Jangan menunggu hingga demam membuatmu tidur seharian atau kecelakan di persimpangan jalan seperti yang menimpaku di awal Desember lalu. Itu namanya kasep!