29/12/2016

Kenali Dirimu Lebih Baik

Tidak ada yang salah dari mengukur kemampuanmu sendiri. Memperkirakan sejauh mana kakimu bisa melangkah atau secepat apa kamu bisa berlari. Tapi, jika kamu mulai membatasi diri dan banyak berceloteh tentang ketidakmampuanmu melakukan sesuatu sebelum kamu mencobanya, maka, hal itu sama saja bahwa kamu tidak lebih baik mengenal dirimu sendiri dibandingkan orang lain mengenalmu.
Bau libur panjang sudah tercium sejak pertengahan bulan Desember, udaranya ku hirup dalam-dalam, ku resapi, kemudian ku maknai. Ternyata, siapa saja pasti butuh waktu dan ruang sendiri. Dari seabrek tugas dan rutinitas, siapa pun pasti ingin sehari saja untuk melepas lelah, bebas dari pikiran yang membebani, juga tanggungan yang menghantui. Sepertinya tidak hanya aku yang merindu hari libur, mesin ketik yang ku sebut laptop dan sering ku gunakan untuk nugas ini juga mulai tak acuh dengan charger-nya ketika perkuliahan telah undur diri. Selamat datang libur panjang. Sekali lagi, selamat datang udara segaaaaar.

*Mengehembuskan nafas*

Akhirnya, perkuliahan semester 5 telah terlampaui. Meski IPK belum ujuk gigi tapi resahnya telah terobati. Banyak yang mengeluh, “semester 5 banyak tugas, semester 5 dosennya om killer om, semester 5 banyak observasi, semester 5 nano-nano, semester 5 jomblo,” tapi, siapa pun tahu, mengeluh tidak menyelesaikan tumpukan revisi di dalam laci.

#sayatidakmengeluh

Kala itu, ditengah kepungan tugas kuliah, aku duduk di depan meja kantor─tempat dimana aku bekerja─ hingga jam 8 malam. Pulang-pulang kelelahan, tidur sejenak, jika ada tugas kuliah ya bangun lagi dini hari. Setiap hari begitu. Bukan lagi kebetulan, aku memang memutuskan untuk kuliah sambil bekerja *bukan sebaliknya*. Tapi, kenapa hanya aku yang tidak mengeluh dari cobaan semester 5? Padahal, dibandingkan dengan mereka, waktuku terbatas. Dan tentu, mereka memiliki lebih banyak waktu, baaaaanyak!

Tapi, di sisi lain, sepertinya aku juga terlalu memaksakan diri. Sering mengabaikan rasa lelah hingga sekali dua kali berteman dengan antibiotik dan anti iflamasi (jenis obat). Tapi, itu tidak cukup membuatku sadar hingga kecelakaan di persimpangan jalan itu. Seminggu menginap di rumahsakit dengan suntikan penghilang rasa sakit membuatku berpikir dua kali. Aku sadar bahwa aku lelah. Aku butuh istirahat.

19/07/2016

Menjadi Berbeda itu Tidak (Selalu) Salah

Apakah sesuatu yang tidak ilmiah terdengar bullshit?

Aku mengawali tulisan ini dengan sebuah pertanyaan. Ia sempat terjawab oleh seseorang, dengan jawabannya yang membuatku hampir berhenti berpikir. “Kadang,” jawabnya. Iya, Itu bukanlah sebuah jawaban yang ilmiah. Dan tentu, ia terdengar begitu bullshit. Melahirkan begitu banyak pertanyaan. Apa yang kau maksud dengan kadang? Kadang bullshit? Kadang tidak? Begitukah yang kau maksud? Lantas, apa ukuran paten yang membedakan kapan sesuatu itu terdengar bullshit atau tidak? Dirimu? Sesuatu itu terkadang bullshit atau tidak itu tergantung dirimu? Jadi, sekarang, kau lah yang memegang otoritas kebenaran itu? Bukan lagi seorang peneliti yang melahirkan hal-hal yang bersifat ilmiah? Oh, aku mulai pusing.

Akhirnya, kita memiliki banyak perbedaan disini, dan itu tidak salah. Kau mungkin memiliki seribu alasan untuk mendukung asumsimu, begitu juga aku. Karena tidak semua hal yang ada di kehidupan kita bersifat ilmiah. Seperti ketika kita memahami sebuah kehidupan, kita meyakini suatu dugaan yang diterima sebagai dasar, kita menyebutnya dengan asumsi,  landasan berpikir yang kita gunakan karena dianggap benar. Dan tentu, kebenaran di kehidupan kita tidak hanya bersifat ilmiah, namun juga bersifat empiris, dan bisa jadi kebenaran yang kau buat sendiri. Contoh, kau meyakini bahwa mengendarai sepeda motor akan lebih cepat dibandingkan mengendarai sepeda. Itu juga sebuah asumsi, dugaan yang kau anggap benar, dan tentu, itu bukanlah ilmiah. Apakah ia terdengar bullshit? Aku tidak akan menjelaskannya hingga detil, aku memberimu waktu untuk berpikir bahkan menyanggah, kau bahkan boleh menyalahi asumsiku, bahkan sebaliknya. Karena menjadi berbeda itu tidak salah.
***
Kita punya aturan disini; untuk menjadi benar kita hanya perlu berkawan dengan perintah, dan mengambil jarak dengan larangan. Segala sesuatu telah diatur oleh hukum alam atau sunnatullah, dalam agama lain juga memiliki prinsip yang sama, semua agama menginginkan keteraturan. Menyakiti sesama makhluk adalah sebuah larangan, yang perlu kita lakukan hanyalah mengambil jarak. Saling memaafkan adalah perintah, yang perlu kita lakukan adalah menjalankan.

Jadi, jika kau berpendapat bahwa, “menjadi berbeda itu tidak salah, selama tidak menyakiti yang lain”, maka aku akan menjawab, “of course!” itu sudah menjadi aturan, kita dilarang untuk saling menyakiti.

Oke, tulisan ini baru dimulai. Apa yang kau pikirkan setelah membaca sebuah pernyataan bahwa menjadi berbeda itu tidak salah? Semoga kamu tidak sembarangan untuk menyimpulkan. Lebih bijak jika kamu bertanya, “berbeda dalam hal apa yang kau maksud, San?”.

Source : Google
Sebuah film yang diangkat dari novel berjudul “Ayah, Mengapa Aku Berbeda?” mewakili pernyataan tersebut. Menjadi berbeda itu tidak salah. Terlahir cacat dan memiliki keterbatasan fisik membuat tokoh dalam film tersebut seringkali ditolak oleh sekitarnya. Meskipun ia terlahir berbeda, tapi ia tetaplah gadis pada umumnya, terlebih ia adalah siswa yang cerdas, bahkan memiliki bakat di bidang seni, seperti ibunya, seorang pianis. Keterbatasan yang ia miliki membuatnya tidak mudah untuk bergabung sebagai anggota dalam kelompok musik.

Contoh lain, jika berbicara tentang psikologis, kita mengenal dua kepribadian manusia yaitu, ekstrovert dan introvert. Dalam dua kepribadian tersebut, seringkali kita mengasumsikan bahwa kepribadian ekstrovert lah yang lebih baik karena keterbukaannya. Sehingga banyak dari seorang introvert yang pendiam memaksakan diri untuk menjadi ekstrovert agar disukai banyak orang. Padahal, untuk menjadi seorang introvert yang berbeda dari ekstrovert, itu tidak salah.

Itu tadi dua contoh yang menjawab pertanyaanmu. Berbeda dalam hal apa? Segala hal. Kita boleh berbeda dalam ras, suku, agama, kebudayaan, fisik, kelamin, kepribadian, bahkan ide atau pendapat. Bayangkan jika kita terlahir sama. Bahkan sepasang anak kembar pun memiliki kepribadian yang berbeda, mereka seringkali bertengkar karena perbedaan dan juga larut dalam kebahagiaan karena perbedaan. Atau contoh lain, beberapa filosof kita memiliki berbagai pemikiran mengenai alam, ada yang menganggap bahwa segala sesuatu berasal dari air (Thales), yang lain menganggap segala sesuatu berasal dari uap atau udara (Anaximenes), dan seterusnya. Pemikiran-pemikiran tersebut membawa pada pemikiran Anaxagoras yang menganggap bahwa ada sesuatu dari segala sesuatu, ia menyebutnya benih-benih. Hingga akhirnya Democritus yang menemukan atom. Jika semua orang memiliki pemikiran yang sama seperti Thales, maka bisa jadi kita tidak akan menemukan proton, neutron dan elektron yang merupakan bagian dari atom.

“Berbeda itu indah,” ungkapnya mengakhiri percakapan.

Menjadi berbeda tidaklah mudah. Kita mengenal Socrates yang berakhir dengan kematian karena mempertahankan apa yang ia yakini. Kita mengenal angel dalam tokoh film “Ayah, Mengapa Aku Berbeda?” yang seringkali hampir putus asa dengan keterbatasannya, atau pun seorang introvert yang dianggap aneh dengan sikap pendiam dan tertutupnya. Menjadi berbeda memang tidak mudah, karena itu aku berasumsi bahwa menjadi berbeda itu tidak salah. Yang membuatnya sulit karena stigma atau anggapan dari sekitar kita bahwa menjadi berbeda adalah aneh, tidak wajar, menakutkan, bahkan menyesatkan. Ini hanyalah tentang bagaimana seseorang menjalani kehidupannya. Stigma itulah yang salah. Menuntut setiap orang agar selalu sama dengan kitalah yang salah.

Tapi, bagiku, lebih sulit menjadi seseorang yang tidak menuntut dibanding menjadi seseorang yang berbeda. Maka dari itu, lebih baik kita belajar untuk menghargai perbedaan, seperti yang kau sampaikan, bahwa itu adalah hak masing-masing orang. Agaknya aku juga kesulitan, maka dari itu aku memutuskan untuk belajar. Aku tak mampu menjawab apakah sesuatu itu dianggap benar atau salah, karena aku bukanlah satu-satunya pemegang otoritas kebenaran. Yang aku tahu, bahwa memang, menjadi berbeda itu tidak salah. Jadi, bagaimanapun kau berasumsi sebaliknya, menyampaikan bahwa kau tidak setuju denganku, itu bukanlah masalah, masalahnya terletak pada stigma atau anggapan yang menyalahi setiap perbedaan. Jadilah dirimu sendiri. Karena menjadi berbeda itu tidak (selalu) salah. 

19/05/2016

Berteman Sepi

Akhirnya aku menulis lagi.

Akhir-akhir ini aku sibuk mengutek-utek hp android, mungkin kamu menyebutnya dengan smartphone karena kecanggihannya. Hampir satu tahun ini aku bermain dengannya, mulai dari browsing, bermain social media, game, foto, atau sekedar melihat jam. Paham betul kok dengan apa yang aku lakukan tidak lah penting dan sangat membuang-buang waktu, karena kita memang terlahir mampu membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Tapi, sayangnya, kebanyakan dari kita hanya berhenti pada kemampuan membedakan saja, tanpa melakukan tindakan nyata. Seharusnya kita melakukan sesuatu yang kita anggap benar, bukan malah sebaliknya. Betul? *Semoga aku ingat dengan apa yang aku tulis*

Banyak kita jumpai sindiran-sindiran mesra yang menyebutkan tentang hal-hal yang berubah dari kita semenjak lahirnya anak teknologi yang diberi nama smartphone. Ia memang terlahir cerdas. Tidak berlaku pada aplikasinya saja, tapi juga kemampuannya dalam minteri kita. Tahukah? Betapa bodohnya kita selama ini dihadapan smartphone? Ia mampu membuat kita hampir all the time bersamanya. Tidak hanya itu, ia juga bisa menjadikan kita hamba untuknya, hamba gadget. Warbiyasah. Tapi, wait. Bukankah terlalu egois jika hanya menyudutkan sebuah benda mati? Bagaimana dengan kita sendiri? Bukankah kita terlahir mampu untuk membedakan, juga terlahir mampu memilih untuk menjadi apa kita? Jadi, pilihanmu untuk menjadi seseorang yang hampir all the time bersama hp adalah keputusanmu sendiri, pilihanmu untuk menjadi hamba gadget adalah keputusanmu sendiri. Ibarat pedang, jika ia dibawa oleh orang yang bijak, maka sebuah pedang tidak akan melukai siapa pun, namun, jika ia dibawa oleh orang yang salah, maka menjadi bahaya lah pedang itu. Intinya, kita harusnya tahu betul bahwa segala sesuatu adalah berdasarkan keputusan kita, bukan malah pedang atau hp yang hanyalah sebuah benda mati.

Pernahkah kalian dalam satu meja dengan kawan-kawanmu, tapi mereka malah sibuk dengan hp mereka? Kamu bisa membayangkan betapa sepinya pesta jika mereka sibuk dengan sebuah chat yang ada di hpnya. Kamu bisa membayangkan betapa kesepiannya temanmu yang sangat menghargai sebuah pertemuan, tapi kamu malah sibuk dengan ganti dp dan membalas komentar. Anggap saja itu aku, jika aku menjadi seseorang yang sangat menghargai dunia nyata daripada dunia maya, maka berteman dengan kalian sama saja dengan berteman sepi. Simpanlah hpmu, jadilah pengguna yang cerdas melebihi cerdasnya hpmu. Minimal kita tahu untuk apa secangkir kopi dan sebuah pertemuan, mereka adalah untuk dinikmati bukan untuk diabaikan.



Halo Mas Ateng, terimakasih sudah menagih tulisanku.

08/02/2016

Mengenalmu Saja Sudah Cukup

Menyukai seseorang bukanlah perkara mudah. Karena belum tentu pria yang berwajah tampan atau wanita yang berwajah cantik mudah untuk disukai. Menyukai memang tak semudah seperti memilih baju. Tidak cukup hanya karena ia bermotif bagus atau memiliki brand terkenal, bahkan desain bagus pun bukan jaminan. Intinya, dari sekian banyak pria tampan atau wanita cantik diluar sana, tidak membuat kita mudah untuk menyukai mereka sekaligus, pasti ada satu diantara mereka yang mampu menarik perhatian kita, bukan karena ia tampan atau cantik, tapi memang karena tanpa alasan, mungkin itulah menyukai. Tapi, bicara tentang kamu, tiada kata mungkin, karena mengenalmu saja sudah cukup.

06/02/2016

Melawan Rasa Takut

Sourced of google
"Mencoba sesuatu yang baru memang menakutkan. Tapi hidup selalu bicara tentang hal-hal baru. Jadi, mau sampai kapan menghindari hidup hanya karena rasa takut?". Catatan ini ku tulis tepatnya 7 minggu yang lalu, beberapa hari  sebelum aku berangkat mengikuti bakti sosial yang diadakan salah satu organisasi di kampusku. Aku menulis ini sekedar untuk memotivasi diriki sendiri, bahwa aku pasti bisa dan aku tidak takut.

Sejujurnya aku takut berada jauh dari rumah, apalagi untuk 2 minggu lamanya. Karena memang, aku tak pernah melakukan itu sebelumnya. Rasa takut seakan menyelimutiku. Bagaimana tidak,