Siang itu, di jam istirahat setelah mengajar beberapa materi Pondok Romadhon, aku memilih duduk-duduk bersama pengajar yang lain di teras mushola sekolah. Sambil mengeluarkan buku dari dalam tas, aku memutuskan untuk membacanya. Buku yang ku pinjam dari seorang dosen psikologi di kampusku memang begitu menarik perhatianku. Dari sekian banyak judul buku di rak taman bacanya, seakan-akan hanya judul itu yang mendesakku, seperti memintaku untuk membawanya pulang. "Perempuan Berbicara Kretek" begitu kalimat yang tertera di halaman sampulnya.
Memang ada beberapa alasan mengapa aku tertarik dengan buku itu, salah satunya karena seorang teman lelaki perokok yang beberapa kali sempat menghabiskan makan siangnya bersamaku, membuatku menjadi sering memperhatikan rokok dan rentetan aktivitas yang menyertainya, juga stigma yang kuberikan padanya (rokok). Tapi, bukan seorang perokok itu yang ingin aku tulis. Juga bukan buku yang sedang ku bawa. Namun, sebuah pertanyaan dari seorang teman yang siang itu sedang duduk di sebelahku, ia sering memperhatikanku membaca buku di jam-jam istirahat. Hingga akhirnya ia mengawali sebuah percakapan dengan pertanyaan ini, membuatku menutup buku dan berdiskusi sedikit dengannya.
"Nyapo awakmu kok seneng nulis?" (Kenapa kamu suka menulis?)
Aku berkedip sekali, tidak serta merta menjawab pertanyaannya, menandakan bahwa aku masih berpikir. Bisa jadi, karena aku tak memiliki alasan yang spesifik, mengapa aku menyukai menulis. Akhirnya aku menjawab sekenanya. "Karena dengan menulis sama saja dengan mengaktifkan otak secara keseluruhan (otak kanan dan otak kiri). Menulis adalah kegiatan menyampaikan ide atau gagasan. Kita tahu bahwa kegiatan tersebut adalah kerja dari otak kanan. Sedangkan otak kiri berperan dalam editing, dari stitulah mengapa sebuah tulisan mudah dipahami. Otak kiri kita bekerja bersamaan dengan otak kanan, ketika otak kanan sibuk menuangkan ide ke dalam tulisan, otak kiri secara aktif mengatur kata demi kata agar pesan dari setiap kalimat bisa tersampaikan," jawabku.
"Jadi dari segi manfaatnya lah alasanmu suka menulis?" tambahnya.
Aku berkedip lagi.
"Tidak," jawabku singkat. Aku hanya menjawab tidak, karena tentu bukan itu alasanku. Seseorang menyukai menulis bukan karena ia mengatakan "suka" kemudian pada saat itu juga ia "menulis". Bukan juga karena menulis memiliki seabrek manfaat kemudian hal itu menjadikan seseorang seketika "menulis". Tidak.
"Kenapa kamu suka membaca?" akhirnya pertanyaan ini ia sampaikan padaku.
Kebenaran itu Kompleks #2
Source : Google |
Memang ada beberapa alasan mengapa aku tertarik dengan buku itu, salah satunya karena seorang teman lelaki perokok yang beberapa kali sempat menghabiskan makan siangnya bersamaku, membuatku menjadi sering memperhatikan rokok dan rentetan aktivitas yang menyertainya, juga stigma yang kuberikan padanya (rokok). Tapi, bukan seorang perokok itu yang ingin aku tulis. Juga bukan buku yang sedang ku bawa. Namun, sebuah pertanyaan dari seorang teman yang siang itu sedang duduk di sebelahku, ia sering memperhatikanku membaca buku di jam-jam istirahat. Hingga akhirnya ia mengawali sebuah percakapan dengan pertanyaan ini, membuatku menutup buku dan berdiskusi sedikit dengannya.
"Nyapo awakmu kok seneng nulis?" (Kenapa kamu suka menulis?)
Aku berkedip sekali, tidak serta merta menjawab pertanyaannya, menandakan bahwa aku masih berpikir. Bisa jadi, karena aku tak memiliki alasan yang spesifik, mengapa aku menyukai menulis. Akhirnya aku menjawab sekenanya. "Karena dengan menulis sama saja dengan mengaktifkan otak secara keseluruhan (otak kanan dan otak kiri). Menulis adalah kegiatan menyampaikan ide atau gagasan. Kita tahu bahwa kegiatan tersebut adalah kerja dari otak kanan. Sedangkan otak kiri berperan dalam editing, dari stitulah mengapa sebuah tulisan mudah dipahami. Otak kiri kita bekerja bersamaan dengan otak kanan, ketika otak kanan sibuk menuangkan ide ke dalam tulisan, otak kiri secara aktif mengatur kata demi kata agar pesan dari setiap kalimat bisa tersampaikan," jawabku.
"Jadi dari segi manfaatnya lah alasanmu suka menulis?" tambahnya.
Aku berkedip lagi.
"Tidak," jawabku singkat. Aku hanya menjawab tidak, karena tentu bukan itu alasanku. Seseorang menyukai menulis bukan karena ia mengatakan "suka" kemudian pada saat itu juga ia "menulis". Bukan juga karena menulis memiliki seabrek manfaat kemudian hal itu menjadikan seseorang seketika "menulis". Tidak.
"Kenapa kamu suka membaca?" akhirnya pertanyaan ini ia sampaikan padaku.
Kebenaran itu Kompleks #2
0 comments:
Post a Comment
Mari berdiskusi, kalo perlu sambil ngopi ;)
Tinggalkan komentar tapi jangan tinggalkan aku.