21/04/2017

Emansipasi Salah Fokus

Gadis yang pikirannya sudah dicerdaskan, pemandangannya sudah diperluas, tidak akan sanggup lagi hidup di dalam dunia nenek moyangnya (R.A. Kartini)

Selamat Hari Kartini untuk semua perempuan Indonesia di manapun kalian berada.



Beberapa perayaan telah berlangsung di sudut-sudut kampung juga di lembaga pendidikan. Sekumpulan perempuan menggunakan kebaya dan juga konde. Tidak hanya itu, berbagai perlombaan juga memeriahkan Hari Kartini. Sekilas, perayaan-perayaan tersebut hanyalah bersifat “ceremonial” yang minim makna akan perjuangan yang sebenarnya. Semua hanya memberikan kesan euphoria. Padahal, dibalik itu, sejarah mencatat perjuangan emansipasi perempuan oleh Kartini melalui surat-suratnya.

Perjuangan Kartini bisa dikatakan berawal dari sebuah pertanyaan yang diajukan seorang kawan kepada dirinya. “Apa cita-citamu?”. Berawal dari situlah Kartini mempertanyakan kepada dirinya sendiri, ingin menjadi apa ia suatu hari nanti. “Apalagi kalau bukan menjadi Raden Ayu,” jawab bapaknya. Mendengar jawaban itu, Kartini sumringah sekaligus bingung. Apa maksud dari menjadi Raden Ayu? Ternyata Raden Ayu adalah gelar kebangsawanan Jawa yang diberikan kepada seorang perempuan keturunan ningrat yang menikah dengan seorang laki-laki yang tidak ia kenal. Mengetahui itu, Kartini menolak.

“Selama ini hanya satu jalan terbuka bagi gadis Bumiputra akan menempuh hidup, ialah “kawin.” (Surat kepada Nona Zeehandelaar, 23 Agustus 1900). Kartini hidup di tengah-tengah adat dimana perempuan tidak memiliki hak untuk belajar, bekerja di luar rumah, dan menduduki jabatan di dalam masyarakat. Tidak ada kebebasan. Mereka dituntut banyak kewajiban dengan sedikit bahkan tiada hak. Surat yang ditulis Kartini adalah jembatan bagi kesetaraan perempuan. Ia memperjuangkan kedudukan perempuan agar mereka bebas mengetahui banyak hal dan tentu mempertanggungjawabkan hal itu.

Sejak saat itu, perempuan hingga hari ini mulai bebas menyuarakan gerakan emansipasi, kesetaraan gender, feminisme, bahkan miss universe, dan adagium-adagium yang lain. Sebentar, ada yang ganjil. Miss universe? Sekali lagi. Miss universe? Apakah muncul di ruang publik yang dimaksud adalah dengan memamerkan kecantikan dan kecerdasan dalam balutan gaun panjang, di bawah lampu panggung yang gemerlap, dan suara tepuk tangan dari kebanyakan pria? Apakah kebebasan perempuan mulai disalah artikan?

Jika melihat adagium kebebasan saat ini merupakan produk budaya pada masa lampau yang membatasi ruang gerak perempuan, penindasan, dan diskriminasi. Sedangkan sekarang, paradigma kebebasan malah berujung pada eksploitasi fisik wanita. Sehingga meuncul idiom bahwa wanita yang cantik adalah wanita yang seksi, bukan wanita yang cerdas, pekerja keras, dan kompetitif.

Ah, jangan jauh-jauh. Lihat saja pergaulan disekitarmu, perempuan hari ini disibukkan dengan gincu dan pensil alis, baju dan juga high heels, baru bisa dikatakan berkelas jika mampirnya di kafe-kafe, mainannya kamera berlensa, kendaraannya bukan lagi roda dua, bisa tiga, bisa empat. Sibuk mengambil foto sana sini, entah itu di bangku kafe, di taman bunga, di belakang setir mobil, atau yang terakhir di studio foto mahal. Tidak ada yang salah. Semua itu adalah budaya hedon yang konsumtif. Silakan berhura-hura. Biar siapa saja terlena dan kehilangan arah. Tapi, pertanyaannya, apakah ini kebebasan yang Kartini definisikan?

Meskipun, perempuan hari ini tidak lagi dipingit, dipenjara di dalam rumah. Namun, jika melihat budaya modernisasi yang mau tidak mau berdampak pada perempuan dan ruang kebebasannya, secara tidak langsung, dengan gaya hidup yang serba kekinian, membawa perempuan hari ini terpenjarakan oleh hedonisme, yang menjadikannya berperilaku sangat konsumtif. Secara sosiologis, pola itu mendorong kepada mentalitas yang mengetujuankan hidup semata-mata hanya untuk kesenangan.

Mari menengok kebelakang, harapan Kartini begitu besar, memperjuangkan hak-hak perempuan agar mereka bergerak maju ke ruang-ruang publik, bersekolah, berpartisipasi secara politis dan ikut berperan dalam pembangunan negara. Bukan sesepele memperjuangkan gincu nomer 28 agar rona wajahmu tidak pucat.


Tidak, tidak ada yang salah dengan bersolek. Kamu perempuan bebas merawat diri. Tapi kamu juga memiliki kesetaraan yang sama dengan lawan mainmu (bukan secara kodrati). Kembalilah di larik-larik surat Kartini. Karena melaluinya kamu bisa mengerti, mengapa hari ini kamu bisa duduk di bangku-bangku kampus bersanding dengan laki-laki.

5 comments:

  1. Sekali lagi aku katakan tulisan ini mulai mampu memantik pemikiran pembaca. Sepakat dengan beberapa tesis yg dittuliskan oleh penulis, mengenai emansipasi.

    Banyak wanita yg memang blm sadar mengenai kebebasan yg hrus ia perjuangkan. Ketika berbicara Kartini, kebebasan berpikir dan menentukan hidupnya (wanita) itulah yg ia perjuangkan. Dan saat ini kebebasan berpikir (pendidikan) itu pun sudah di dapatkan mayoritas wanita, dan saatnya perjuangan wanita merambat kepada hal lainnya. Ex: kesetaraan di ruang politik yg hingga skrang masih belum bisa maksimal

    ReplyDelete
  2. Assalamu'alikum
    Terimakasih selalu menulis, tulisan-tulisan yang mampu menyentil kondisi masyarakat saat ini. Tulisan-tulisanmu selalu menginspirasiku, dan setuju dengan pendapatmu.

    Perjuangan RA Kartini sekarang hanya bersifat ceremonial saja.
    Semoga perempuan yang membaca tulisanmh ini (seperti diriku) menyadari bahwa Kartini memperjuangkan perempuan harus berkualitas, berpendidikan, perempuan harus terus berkarya, berinovasi, perempuan yang partisipatif dalam berbagai bidang, agar dapat menyumbangkan manfaat besar bagi keluarga, bangsa dan negara.

    Bukan hanya tentang alat makeup semata, atau pergi nongkrong kesana -kemari mencari spot selfie dan bingung memilih foto mana yang akan di unggah ke sosial medianya? Bukan bingung buku mana yang harus dibeli atau buku mana yang harus dilahap sampai habis.

    ReplyDelete
  3. Keren banget mbak santiiii❤❤❤❤

    ReplyDelete
  4. Tulisan ini mampu mengajak pembaca melihat perjuangan RA. Kartini yang dilupakan, bahwa sejatinya yang namanya emansipasi ialah kerja keras seorang wanita dalam menggapai cita-citanya.

    ReplyDelete
  5. sepertinya budaya ceremonial sudah mendarah daging di bangsa kita walaupun saya yakin tidak semua sependapat, seperti penulis contohnyan dengan pemikiran nya yang menampar paradigma emansipasi yang ada disosial masyarakat sekarang. semoga para pemuda khususnya perempuan indonesia membaca tulisan yang bermanfaat ini, agar merubah paradigma mereka tentang arti penting emansipasi yang dilakukan oleh RA Kartini.

    ReplyDelete

Mari berdiskusi, kalo perlu sambil ngopi ;)
Tinggalkan komentar tapi jangan tinggalkan aku.