24/03/2017

Pada Dasarnya Semua Orang (Bisa) Baik

Pernahkah kalian membenci seseorang?
Apa yang kalian benci?
Sosoknya ataukah sikapnya?



Bagiku keduanya berbeda. Meski ada yang beranggapan bahwa keduanya sama, dengan asumsi bahwa sikaplah yang membentuk seseorang. Tapi, bagiku sebaliknya. Seseorang tidak ditentukan oleh sikapnya. Bahkan, banyak dari kita yang mengalami pertentangan antara hati dan pikirannya, apalagi dengan sikapnya. Aku, dengan sepenuh hati percaya, bahwa pada dasarnya semua orang bisa baik, bisa pula tidak. Karena setiap orang pasti memiliki potensi untuk baik. Jika membenci, pertama kali yang ku benci bukanlah sosoknya, tetapi sikapnya.

Secara personal, mulai  dari garis matanya, senyumnya, bahkan warna kulitnya, tidak ada yang ku benci. Orang mudah membenci hanya karena ras. Warna kulit. Belum lagi jika berbicara perbedaan manusia karena agama, status ekonomi, atau keyakinan politik bahkan partai yang mereka ikuti. Mereka bisa saja dicap ini itu dengan mengabaikan esensi bahwa pada dasarnya setiap orang adalah baik. Hanya sikapnya yang membuatnya berbeda, bukan ras, bukan profesi, dan bukan bukan yang lain. Kita berbicara tentang sikap. Kita berbicara tentang akhlak. Bahwa bukan akhlak yang membentuk kita. Tapi kitalah yang membentuk akhlak. Memutuskan menjadi apa kita, bukan sebaliknya. Kita bukan ditentukan oleh hal-hal yang ada diluar kita. Tapi kitalah pengendali penuh atas diri kita sendiri.

Pembahasan ini bisa jadi akan sangat melebar. Bahwa di mata sang pencipta, makhluk-Nya adalah sama. Bahwa di mata negara, warganya dikenai hukum yang sama. Bahwa di mata perseorangan, antar sesama memiliki penilaian yang berbeda. Tapi, di mataku, pada dasarnya semua orang adalah baik.

Semoga kalian memiliki interpretasi yang sama dengan apa yang aku maksudkan.

Berbicara tentang itu aku pikir penting. Melihat perpecahan sering terjadi karena kita tidak memahami apa yang kita benci. Bahwa persoalan organisasi bisa mengakibatkan perpecahan antar perseorangan. Bahwa perdebatan di bangku kuliah menimbulkan perkelahian di luar lingkungan kampus. Bahwa persoalan warna kulit menyebabkan diskriminasi individu, kelompok, maupun golongan. Sebenarnya bukan sosoknya yang kita benci. Tapi persoalannya. Mari kita bahas dengan santai. Kalian ikut organisasi? Aku kira bukan hal asing lagi jika berbicara tentang pertentangan. Di dalam organisasi setiap anggota memiliki misi yang sama, tapi tidak bisa dinafikkan bahwa di setiap kepala pasti memiliki ide cemerlangnya masing-masing. Perbedaan ini lah yang membawa pada pertentangan. Sebabnya, bisa jadi karena cara penyampaian pendapat yang tidak mengenakkan. Bisa jadi dengan cara menjatuhkan atau meremehkan ide orang lain. Dari sini kita tahu, bahwa ini adalah perihal sikap. Tapi sayangnya, setelah urusan organisasi selesai, kebanyakan dari kita membawanya keluar dan membesar-besarkannya. Bahwa karena hal itu seseoarang bisa saling membenci. Pertanyaannya, apa yang kalian benci? Sosoknya kah atau sikapnya?

Aku menawarkan cara berpikir ini. Bencilah sikapnya tapi maafkanlah orangnya. Percayalah bahwa pada dasarnya setiap orang memiliki potensi untuk baik.

Coba  kita diskusikan lagi. Bagaiamana jika seseorang tadi menyampaikan pendapatnya dengan santun dengan tidak menjatuhkan yang lainnya? Tentu  saja. Respon akan berbeda. Dengan begitu kalian akan menyukai caranya mengemukakan pendapat. Saya ulangi. Bahwa kalian menyukai caranya. Bukan karena orangnya. Sama halnya dengan membenci. Kita membenci cara atau sikapnya, dan seharusnya bukan  orangnya.

Cobalah untuk memahami, sebenarnya apa  yang kalian benci. Agar kalian tidak mudah membenci seseorang secara personal.

Lantas, bagaimana dengan orang yang dibenci? Jika kalian memahami dan mengamini konsep bahwa pada dasarnya setiap orang adalah baik, tapi hanya kamu yang memahami itu, sedang orang yang membencimu tidak. Maka belajarlah bersikap baik. Karena yang membencimu tidak memahami dan meyakini konsep ini, karena itu mereka memutuskan untuk membenci sikapmu sekaligus dirimu.  Memilih menjadi orang yang tidak pemaaf.

Pahami konsep ini agar kita menjadi pemaaf. Aku juga sedang berusaha dan mencoba. Mari berdoa untuk setiap kebaikan yang kita usahakan.

Tulisan ini ku buat untuk Fandi Ilyas, teman baik yang mengajariku banyak hal. Terimakasih atas pertemanan sekaligus perdebatan. Jangan ada kata maaf diantara kita hahahaha

5 comments:

  1. Saya pernah membenci seseorang. Tapi bukan karena rupa atau sifatnya.
    Pun juga pernah menjadi orang yang dibenci, dan belum tau sebabnya.
    Saya ingin menjadi seorang pemaaf. Tapi belum bisa.
    Saya ingin tau "mengapa", maka saya baca (lagi) tulisan ini dengan seksama.
    Wkwkwk

    ReplyDelete
  2. Bencilah anunya, jangan benci anunya

    ReplyDelete
  3. Yuk berlatih memahami orang. Di balik sikap menyebalkan seseorang pasti ada alsan kenapa dia berbuat seperti itu. Supaya hati kita lebih bersih dan tenang.

    ReplyDelete
  4. Korelasi benci mungkin bisa berawal dari kurangnya saling memahami. Apa yang dikira oleh dia (yang kita benci) sudah cocok kadang kurang cocok menurut kita. Nah disini posisi kita memang harus lebih inten mencoba memahami atas maksud lingkungan di sekitar kita supaya imbasnya pula kita juga tidak semerta-merta membenci. Dan poin satunya lagi yang terjadi akhir-akhir ini dilingkungan kita adalah masalah politik agama maupun yang lain. Menurut saya setelah kemarin saya lihat acara ILC di Tvone dan ada pesan dari cak nun (emha ainun najib) yang kesimpulannya konflik akhir-akhir ini yang terjadi adalah semua merasa yang paling benar kemudian memaksa orang lain membenarkan apa yang dia rasa benar. Terkesan mencari kesalahan orang lain. Dan akhirnya bukan lagi memahami yang ada. Lebih kepada menuduh .
    Monggo semakin kesini semakin belajar memahami. Dengan memikirkan sebenarnya apa yang benar ? Dan apa yang salah ? Imbasnya mereka bisa salah bahkan kita pun juga bisa salah ketika titik tekannya di kata "apa" .
    Yuk terus semangat belajar supaya kita saling lebih memahami semua makhluk di sekitar kita. :)

    Oiya kak ini hanya sekedar argumen (tafsiran) saya. Saya kutip lagi dari kata-kata caknun bahwa :"tidak ada tafsiran yang benar. Yang benar adalah yang ditafsirkan. Yang benar adalah Al-Qur'annya. Sedangkam tafsirannya bersifat relatif" . Wassalam :)

    ReplyDelete

Mari berdiskusi, kalo perlu sambil ngopi ;)
Tinggalkan komentar tapi jangan tinggalkan aku.