21/06/2017

Kebenaran itu Kompleks #2

Baca ini dulu yaaa, Kebenaran itu Kompleks #1

"Kenapa kamu suka membaca?" akhirnya pertanyaan ini ia sampaikan padaku.

Kali ini aku tidak berkedip, dengan mantap aku katakan, "karena aku butuh".

Ada banyak alasan yang melatar belakangi mengapa seorang teman akhirnya mengajukan pertanyaan itu padaku. Perkiraanku. Karena ia masih merasa asing dengan orang-orang yang menggunakan waktu senggangnya untuk membaca. Bahkan dalam konteks ini aku pernah membahasnya dengan seorang teman (yang lain) di suatu waktu. Bahwa baginya untuk membawa buku tanpa menyimpannya dalam tas adalah suatu hal yang ia sebut "pamer", aku definisikan itu sebagai bentuk "pencitraan", mungkin begitu maksudnya. Kemudian aku simpulkan, bahwa membawa saja telah memberikan penilaian seperti itu, apalagi membaca di depan orang-orang yang tidak membaca. Bagaimana menurutmu?

Entahlah. Aku tidak yakin apakah aku hidup di negara yang masyarakatnya membaca atau tidak. Tapi, jika berpijak pada data statistik dari UNESCO, kita bisa menyimpulkan bahwa hanya segelintir orang Indonesia yang membaca. Meskipun di sisi lain kita tahu, toko atau bazar buku tidak pernah sepi dari pelanggan. Jadi, mana yang benar? Ah, jangan jauh-jauh, coba lihat saja sekitarmu, atau bahkan dirimu sendiri, sejauh mana kegandrunganmu terhadap buku? Kemudian simpulkan sendiri. Atau bagaimana penilaianmu jika melihat seseorang yang tengah membaca buku di teras mushola sepertiku ketika jam istirahat, apakah hal itu begitu asing bagimu? Jika iya, berarti benar, kita memang hidup di tengah-tengah masyarakat gerilya, dimana kegiatan membaca tidak perlu diperlihatkan. Karena membaca bagi kita adalah kegiatan yang begitu elit, hanya orang-orang pintar dan berpendidikan yang melakukan itu. Artinya, membaca buku di depan umum sama saja menunjukkan bahwa "aku pintar, aku berpendidikan". Begitukah?

"Loh, jika memang butuh, kenapa tidak membaca buku-buku kuliah? Kenapa malah membaca buku tentang kretek?" tanyanya lagi.

"Aku juga membaca buku kuliah," jawabku sambil menghela napas, menata ekspresi, berusaha agar tidak disangka songong. "Belajar kan tidak harus matematika, IPA, atau IPS, kita juga perlu mempelajari sesuatu di luar dari yang sudah diajarkan di sekolah. Kenapa harus kretek? karena akhir-akhir ini aku sering memikirkannya. Aku menjadi ingat tentang stigma yang ku berikan pada lintingan tembakau yang ternyata (aku baru tahu) bahwa ia adalah bagian dari sejarah dan budaya negara kita. Apakah kamu tahu tentang itu?"

"Tidak, tapi..."

"Ya, begitulah. Kita menjadi tahu banyak hal karena membaca. Awalnya, aku meyakini adagium bahwa merokok membunuhmu, dengan berpijak pada pemberitaan dari media atau pada bungkus rokok. Tapi, setelah membaca buku ini, aku menemukan kebenaran yang lain," tambahku.

***

Tentang sebuah kebenaran, kita tahu bahwa setiap orang memiliki paramaternya masing-masing atas segala hal. Karena seseorang dalam megkonsepsikan sesuatu tidak terlepas dari kacamata 'sudut pandang'. Sebut saja 'kretek'. Setiap orang memiliki gambaran yang berbeda-beda mengenai batang sepanjang 7cm tersebut. Sebuah penelitian mengungkapkan bahwa merokok dapat menyebabkan berbagai penyakit, diantaranya kanker dan jantung. Penelitian tersebut berangkat dari sudut pandang positivistik. Lantas bagaimana kebenaran menurut sudut pandang empirisme, rasionalisme, materialisme, idealisme, fenomenologi, pragmatisme, dan lain sebagainya? Apakah dari masing-masing sudut pandang akan memberikan jawaban yang sama atas 'kretek'? Tentu tidak, kesemuanya memiliki kebenaran yang beragam.

Ruwet memang jika berbicara tentang kebenaran, apalagi jika ditanya "manakah kemudian sesuatu tentang kretek yang benar-benar dianggap benar?" tanpa mengandalkan spekulasi dari sudut pandang abcd dan seterusnya. Tapi, sungguh, aku tidak ingin membahas sejauh itu. Aku hanya ingin menyampaikan bahwa kebenaran itu bersifat kompleks, beragam, karena ia tidak berdiri sendiri. Ada banyak kebenaran-kebenaran lain yang menyertai 'kretek', disamping dampaknya dalam kesehatan dan diklaim penyebab dari tingginya angka kematian. Tapi, kita juga tidak bisa menafikkan kebenaran bahwa rokok adalah bagian penyokong perekonomian negara, lapangan pekerjaan bagi para buruh linting, dan mata pencaharian bagi sebagian besar petani di Indonesia. Kebenaran-kebanaran itulah yang kemudian perlu dipertimbangkan lagi, kaitannya dengan pengambilan sikap. Dalam konteks ini berarti, jika kita mengetahui ada kebenaran lain perihal kretek, perlukah kemudian negara menghapuskan peran tembakau yang selama ini memberikan kontribusi pendapatan nasional sekitar RP 30 triliun setiap tahunnya?

Itu hanya sekedar contoh. Intinya, kita sekarang mengerti, bahwa kebenaran yang kita ketahui akan mempengaruhi kita dalam mengambil sikap. Secara personal, sebelum membaca buku tentang kretek karya Abmi Handayani, dkk tersebut, aku meyakini bahwa rokok adalah sumber penyakit. Dari keyakinan itu, secara tidak langsung mempengaruhiku dalam bersikap, bahwa aku menentang rokok dikonsumsi dengan sangat mudah oleh pemakainya. Lebih jauh, berharap pabrik rokok segera kukut dan segera memikirkan kesehatan jasmani bangsanya. Namun, semua itu berubah drastis setelah aku menemukan kebenaran baru tentang kretek melalui buku yang ku baca. Meski, membaca bukan satu-satunya perantara kita menemukan beragam kebenaran di luar sana. Tapi, setidaknya, membaca mengajak kita lebih cepat mengetahui banyak hal, hanya dengan membolak-balikkan lembar demi lembar.

Dengan menyadarai bahwa setiap individu memiliki parameternya masing-masing, kita menjadi tidak perlu merisaukan segala pandangan yang berbeda. Karena kebenaran tidak hanya satu. Yang perlu digarisbawahi adalah kita harus membandingkan kebenaran menurut sudut pandang kita dengan kebenaran di luar sudut pandang kita. Agar kita lebih matang dan mantap dalam meyakini sesuatu. Dengan begitu kita tidak akan berpikiran sempit. Tujuannya adalah, menghindari hal-hal yang sifatnya diskriminatif, rasisme, percecokan, intoleran dan yang lebih besar perpecahan atas bangsa sendiri.

Kuncinya disitu. Cobalah memulai untuk membaca buku, karena dengannya kita menjadi tahu akan banyak hal. Sangat disayangkan jika kita hanya mengandalkan sudut pandang kita secara personal, menyelesaikan segala sesuatu, mengambil sikap atas segala persoalan hanya berdasarkan pada logika; selama itu masuk akal. Tidak, baiknya tidak begitu, kita perlu mengetahui kebenaran yang menyertai suatu persoalan, agar kita tidak sempit dalam memaknai dan menyikapinya. Karena dengan membaca buku membuka lebih kompleks sebuah kebenaran.

Tentang bagaimana suatu kebenaran dianggap benar secara hakiki, aku tegaskan lagi, aku tidak sedang membahasnya sejauh itu, tapi, yang pasti, kebenaran hakiki tidak mungkin disandarkan pada sudut pandang manusia.

2 comments:

  1. Kebenaran yang hakiki hanya milik TUHAN kak 😂 . :D Iya mau bagaimana lagi memang sejatinnya kebenaran sudut manusiakan adalah relatif :D bagaimana kalau tinjaunnya bukan siapa yang yang benar dan siapa yang salah. Tapi apa yang salah ? Supaya semua berhak salah dan bahkan berhak benar ? #salampecintabelajar

    ReplyDelete
  2. yap bener atas ane, kebenaran yang dimiliki Tuhan adalah kebenaran yang mutlak. kita sebagai manusia harus lebih condong ke benaran mutlak tsb

    ReplyDelete

Mari berdiskusi, kalo perlu sambil ngopi ;)
Tinggalkan komentar tapi jangan tinggalkan aku.