22/11/2018

Raos Kemropok Versus Merdeka Belajar (Mencatat Belajarnya Para Ustadzah #1)

Tulisan ini sudah diagikan di halaman facebook Sekolah Alam Ramadhani.


Sebuah kelas begitu ramai dan berisik. Anak-anak masih saja seru melempar-lempar kertas, bersembunyi dari temannya di bawah meja, berlari-larian, tertawa, dan beberapa dari mereka keluar masuk kelas, tanpa menghiraukan guru yang sedari tadi memukul-mukulkan kemoceng ke bangkunya. Ekspresinya berubah menjadi begitu garang, sebentar lagi teguran yang hampir tak bisa dibedakan dengan cacian akan keluar dari mulutnya. Anak-anak akan dihukum dengan jeweran, berdiri di depan kelas, atau harus mendengarkan nasihat-nasihat dengan nada tinggi hingga bel pulang sekolah berbunyi.

Ada juga kelas yang begitu hening, duduk seorang guru di kursinya sambil menjelaskan materi-materi dari bahan ajar. Meski seisi kelas tampak mendengarkan, tapi anak-anak bisa menangkap sebuah ancaman di kelas mereka. Tidak ada yang berani menolehkan kepalanya, menselonjorkan kakinya, atau hanya menyandarkan tubuhnya pada kursi. Apalagi jika harus menjawab gerutu dari teman sebangkunya. Tapi, bagi guru, kelas yang hening adalah kelas yang tenang, kelas yang berhasil ia kondisikan sesuai harapan.

Proses belajar mengajar tidak terlepas dari tujuan belajar itu sendiri. Keberhasilan belajar diukur dari target-target yang berhasil dicapai melalui proses pembelajaran. Sebelum mengajar, banyak rencana yang telah disiapkan guru. Bahkan melalui kurikulum, guru telah diberikan perangkat yang rinci. Guru hanya tinggal mengeksekusi. Tapi, seringkali guru mengabaikan hal pokok lain selain perancanaan yang matang, bahan ajar yang memadahi, dan media belajar yang mewakili. Ialah mengajar dengan hati, mengajar dengan rasa.

Anggaplah kita adalah guru yang mengajar di kelas gaduh seperti yang saya gambarkan dalam paragraf pertama. Besar kemungkinan bagi kita semua untuk bersikap reaktif seperti memukul-mukul kemoceng, menunjukkan ekspresi kita yang paling garang, tidak segan meluapkan amarah, melontarkannya dengan perkataan-perkataan yang tidak baik dengan nada yang tinggi, dan semua itu kita lakukan dengan begitu reaktif, tanpa kita sendiri tahu apakah menjelma menjadi pemimpin serdadu adalah satu-satunya cara yang paling tepat. Sikap reaktif tersebut singkat kata saya simpulkan sebagai luapan dari raos kemropok (rasa tidak senang, jengkel, kesal hati, dongkol, gregetan, pedar, kecewa, sebal, jemu, gondok, dan istilah-istilah lain yang sedefinisi). Dimana perasaan itu bisa mudah diluapkan ketika kita lupa bahwa anak-anak yang kita hadapi adalah anak yang memiliki rasa dan berperasaan. Ya, kita sering mengabaikan hal pokok ini.

Tentang proses belajar mengajar yang hening dengan banyak manipulasi tersembunyi di dalamnya, seperti yang saya gambarkan pada paragraf ke dua, bukanlah bagian praktik mengajar dengan hati. Mengajar dengan hati, berarti memahami bahwa anak-anak juga berperasaan sama seperti kita, akan mengantarkan pada proses pembelajaran yang damai, proses pembelajaran yang merdeka, yang dilandasi sikap pengertian dan memahami. Artinya kelas yang hening belum tentu kelas yang damai. Kelas yang damai adalah kelas yang merdeka yang ditunjukkan dengan perasaan-perasaan senang di dalamnya, bukan perasaan terkekang atau terancam.

//USAHA MENEGUHKAN KEMBALI MERDEKA BELAJAR//

Meski raos kemropok adalah perasaan yang wajar dan manusiawi, tapi dalam konteks pendidikan yang berlandaskan pada konsep merdeka belajar, raos kemropok menjadi masalah substansial yang harus diperbincangkan dan ditindak lanjuti.

Memahami anak dari sudut pandang rasa yang dimilikinya, dapat dilihat melalui 4 tahapan :

Satu, tahapan ketika anak memiliki rasa, tapi, raganya belum berfungsi. Seperti bayi yang menangis karena lapar (rasa), tapi belum bisa memenuhi kebutuhannya sendiri karena raganya belum berfungsi.

Dua, tahapan ketika anak memiliki rasa, raganya sudah berfungsi, tapi, belum tahu aturan alam. Seperti anak-anak yang tertarik dengan api (rasa), ia bisa berlari mendekat ke api (raganya sudah berfungsi untuk memenuhi rasa), tapi belum memahami bahwa api memiliki sifat panas dan membakar.

Tiga, yiatu tahapan ketika anak memiliki rasa, raganya sudah berfungsi, dan sudah tahu aturan alam. Seperti anak yang sebelumnya belum tahu bahwa api memiliki sifat panas, menjadi tahu (sudah tahu aturan alam).

Empat, yaitu tahapan ketika anak memiliki rasa, raganya sudah berfungsi, dan sudah tahu aturan alam, dan bisa memahami perasaan orang lain.

Dengan melihat anak-anak sesuai dengan usianya, bisa jadi mereka masih berada pada tahapan pertama, ke dua, atau ke tiga. Maka kita sebagai orang dewasa yang berada pada tahapan ke empat, yang memiliki kemampuan memahami perasaan orang lain, sedangkan anak-anak belum mencapai tahapan itu, maka dengan posisi seperti itu, kitalah yang harus memahami anak. Bukan sebaliknya.

Saya coba gambarkan kembali. Anak berlarian di kelas ketika proses belajar berlangsung bisa memicu raos kemropok kita, yang berujung pada sikap menyalahkan anak karena mereka tidak menurut atau membuat proses pembelajaran tidak sesuai harapan. Intinya, lebih jauh, raos kemropok bisa membawa kita pada anggapan bahwa orang lain lah yang salah. Jika kita berhadapan dengan anak dan memahami mereka dari sudut pandang rasa yang dimilikinya, kita akan tersadarkan, bahwa “melakukan kesalahan” belum ada di kamus mereka. Mereka masih dalam tahapan sesuai dengan usia dan perkembangannya. Peran orang-orang dewasa di sekitarnya termasuk gurulah yang harus mengarahkan. Bukan malah menyalahkan.

Karena,

“Jika seorang guru mengajar dengan rasa kemropok, artinya mereka mengajar dengan menindas. Mengajar yang tidak ada bedanya dengan menjajah, yang semula diniatkan dalam rangka memerdekakan, malah menekan kemerdekaan itu sendiri,”

Saya lantangkan kembali semboyan sebagai komitmen yang bulat untuk menolong diri dan orang lain dari kemiskinan berpikir:

Salam Merdeka Belajar!

Menjadi guru berarti belajar sepanjang waktu!

12/11/2018

Kursi Teras Rumah

Mewakili seorang anak, dengan begitu hormat tulisan ini ku tulis sebagai ungkapan bangga dan bahagia. Untukmu Bapak-bapak dimana pun kalian menghidupi. Terkhusus Bapakku yang ku cintai.



Jika ada kata yang bisa menggambarkan siapa bapakku, akan ku tulis kurang lebih begini...

Bapak memperlakukan anak-anaknya seperti kawannya.

Bagi kebanyakan anak perempuan, mereka terkadang lebih dekat dengan Bapak dibanding Ibunya. Saya tidak. Tidak ada kecenderungan seperti itu. Ibu bukan wanita karir. Ia dengan begitu bangga ku sebut Ibu Rumah Tangga. Bagiku Ibu dan rumah adalah satu kesatuan yang hampir tak bisa dibedakan, keduanya adalah tempat pulang. Jadi Ibu adalah tempat berteduhku, tempat sarapan dan tidur malamku, ia tak pernah jauh walau hanya sejengkal kaki. Sedangkan bapak adalah orangtua yang memiliki karakter ngemong, bisa ngimbangi usia anak-anaknya, terlebih asik diajak bicara, bahasanya tidak pernah menggurui. Saya ini temannya ketika sedang berdiskusi, tapi kalau pagi-pagi salim pamit sambil minta uang bensin, disitu saya berperan jadi anaknya, hehehe.

Bapak tidak pernah memaksakan kehendak dan sangat demokratis.

Saya nggak pernah dipaksa untuk jadi ABCDEFGHIZ. Dalam mengambil keputusan saya berdiri sendiri. Bapak memberikan pertimbangan hanya ketika saya minta, itu pun hanya memberikan pertimbangan, keputusan tetap di tangan saya. Ia hanya mengambil porsi sedikit dan seperlunya atas saya, yang artinya bapak memberikan kepercayaan kepada anak-anaknya. Pun ketika saya salah, bapak mengarahkan bukan menyalahkan.

Bapak tidak pernah menyakiti perasaan siapa pun bahkan untuk menegur saya ketika salah.

Bapak adalah orang tegas berhati lembut. Ia selalu menyampaikan hal-hal masuk akal meski ketika marah. Sambil menghisap rokoknya, ia sering mendudukkan ku di kursi ruang tamu sambil bicara tentang harusnya bagaimana. Meski begitu, saya tidak dibiarkannya diam, selalu ada dialog di tengah ketegangan. Tapi, sekali lagi, bapak tidak pernah menyakiti perasaan saya meski sedang marah.

Bapak, sosok yang berani, jujur, tanggung jawab, sabar, dan sederhana.

Tidak ada kata yang bisa saya ungkapkan tentang ini. Setiap bapak adalah bapak yang luar biasa bagi anak-anaknya.

***

Sore tadi, di kursi teras rumah, menjelang Maghrib, saya menemani bapak ngisis di sana. Mengomentari kucing yang tak pernah habis polah tingkahnya. Kami menertawakan satu-satunya kelucuan di sore itu. Sambil pembicaraan serius, sedang, dan ringan saling kami lontarkan.

Di sela-sela waktu seperti senja sore itu, bapak selalu mengundangku untuk menemaninya duduk di teras rumah. Kadang bisa berjam-jam, hanya saja di tengah-tengah Maghrib yang belum rampung tadi, anak SD yang biasa les di rumah sudah datang. Saya tepuk lutut bapak, menyaratkan ijin masuk rumah duluan.

***

Sekali lagi saya kenalkan siapa bapakku, ia adalah orang yang biasa-biasa saja dengan nilai rapornya semasa sekolah. Karena baginya sekolah adalah mengisi waktu luang dan pengalaman masa muda. Tapi, bapak adalah orang yang selalu bijak mengambil hikmah dari setiap kejadian dan pengalaman dalam hidupnya. Ia membangun keluarga, membesarkan dan menyekolahkan anak-anaknya hingga kuliah dan lulus bukan tanpa tekanan, induk ayam dan anaknya adalah keajaiban alam yang pernah ia jadikan pelajaran.

Seekor ayam tanpa akal, bisa membesarkan lima hingga sembilan anak-anaknya.

Selamat Hari Bapak, Pak!