15/11/2014

Kemeja Biru

Di ruang itu, dimana kursi panjang dipenuhi semua orang, aku duduk bersebelahan dengan ibumu. Aku tahu bahwa dirimu sedang duduk di bangku paling depan dengan warna biru pada kemejamu, dan ibumu memperkenalkanmu kepadaku, lewat perbincangan singkat itu. Hanya saja, aku tak tahu siapa namamu bahkan wajahmu. Sedikitpun aku tidak memperhatikan, yang aku tahu kita dalam satu tujuan yang sama, iya, hanya itu yang ku tahu dari ibumu.

Pagi inagurasi, aku sedang mengenakan gaun ungu dengan motif bunga-bunga yang indah menghiasinya, aku duduk di tribun dengan banyak orang baru disekelilingku. Saat itu adalah inagurasi dari ospek prodi yang ku ambil. Acara yang membosankan.

Tapi ada hal yang mengingatkanku tentangmu, seseorang dengan suara indahnya tengah membacakan ayat-ayat indah, seseorang yang sama denganmu, ia mengenakan warna biru pada kemejanya. Sepertinya aku lupa bahwa baru saja aku mengatakan inagurasi yang membosankan, karena hal ini menarik perhatianku. Aku mengamatinya dari kejauhan, iya, hanya dari kejauhan. Yang ku tahu seseorang itu mengenakan warna biru pada kemejanya sama sepertimu.

Sekarang, adalah hari pertama kuliah kita. Bahkan bertemu denganmu adalah selalu menjadi hal yang pertama, meskipun kita dipertemukan sebanyak tiga kali tanpa kau menyadarinya. Lagi-lagi aku bertemu dengan orang yang sama. Sama-sama mengenakan warna biru pada kemejanya, entah siapa kamu, seseorang yang duduk di bangku paling depan ataukah seseorang dengan suara indah? Kamu berdiri memperkenalkan namamu, dan aku baru menyadari saat itu juga, bahwa kamu adalah orang yang sama. Seseorang dengan kemeja biru yang duduk di bangku paling depan dan seseorang dengan suara yang indah. Untuk mengetahui namamu, aku harus menunggu di pertemuan ketiga, iya, hari ini.

Akhirnya kita sedekat ini, bertemu denganmu setiap hari dengan warna kemeja yang berbeda. Hingga suatu sabtu, kau mengirimku sebuah pesan. Aku tak membalasnya karena saat itu aku belum tahu bahwa itu darimu. Hingga kau mengirim yang kedua kalinya. Dan aku menyadarinya bahwa itu adalah kamu.

11/08/2014

Minimal Whatsapp, Maksimal Path

Gue habis pulang dari JJM (Jalan-jalan Malam) sama temen something gue. Malam ini adalah malam dimana gue berdoa biar Samsung champ (hp kesayangan gue) jadi hp android dengan jaringan super 3G.

Kenapa nggak beli hp baru?

Alasan kenapa gue nggak beli hp baru karena hp gue masih krasan sama gue. Gue masih bisa kirim SMS, telfon mantan, ndengerin lagu galau (iya kalo SMS gue tiba-tiba nggak dibales sama mantan), narsis sama kamera 1.3 MP, facebook-an, ndengerin radio, dan yang paling penting dari semua itu adalah alarm. Hp gue selalu on-time bangunin gue jam berapapun yang gue minta.

Jujur, sebenarnya bisa dipake SMS sama telfon udah cukup banget buat gue. Tapi gue ngrasa ada tuntutan jaman yang dorong-dorong  gue dari belakang biar gue make sosmed kayak anak alay keren jaman sekarang, halah -___-
Sebenarnya bukan tuntutan jaman sih, tapi tuntutan teman (?)
Secara nggak langsung gue ngrasa mereka ngingetin gue kalo SMS-an udah nggak jaman pas mereka nanya ini ke gue “pin mu berapa pin mu berapa?” dan seketika gue pengen bilang “pin bros punyaku, MAU?!?”

Gue nggak habis pikir kenapa hampir semua orang berlomba-lomba buat ngebanyakin sosmed mereka. Padahal kalo dipikir lebih dalam lagi sosmed bukan kebutuhan penting yang harus dipenuhi. “Tapi kan...” iya gue setuju, hubungan sosial emang penting banget, tapi gue rasa semakin kesini sosmed bukan lagi sosial media yang seharusnya, orang jadi berkepribadian ganda karena make sosmed. Lihat aja gue, di dunia nyata gue adalah spesies cewek yang paling nggak bisa diem, cewek yang nggak bisa jaga mulut, ngoceh sana sini, teriak-teriak kayak anjing galak. Nah kalo di sosmed? cie fotonya cantik-cantik, manis-manis, update statusnya kayak pak Mario Teguh yang bijak (kalo gue sok bijak), senyum sana senyum sini, dan yang lebih ekstrim lagi umur gue bisa lebih muda hanya dengan gue nyantumin tahun lahir bo’ongan. Siapa yang bakal tahu? Apalagi sekarang banyak banget spesies manusia semacam gue yang kalo di dunia nyata sangat mengecewakan dan dunia maya sangat mengagumkan. Suer elo banget kan? Iyalah gue juga, kalo bisa mamerin yang baik-baik ngapain mamerin yang jelek-jelek? Setuju? Retweet! *halah*

Sumpah gue nggak ngiri apalagi cemburu pas gue bilang cie.
Cie foto sama cowok di upload terus bilang “tft ya tft” (thanks for time). Makan di tempat keren langsung bikin moment at Salon Termahal with @maspacar *makan kok di salon?*. Pagi-pagi ngucapin selamat pagi kayak artis yang banyak fans “morning tweeps”. Halah gue banget itu mah. Tapi setelah gue pikir-pikir lagi, gue kayak cewek kesepian yang hidup gue cuma bergantung sama sosmed, gue kayak diwajibin buat nginformasiin apa aja yang gue lakuin detik ini, jam ini, hari ini ke semua pengguna sosmed.

Gue seneng banget kalo status gue di like 1000 orang, tweet gue di retweet sama artis korea, momen gue di love sama orang-orang keren, dan alhasil gue berasa jadi orang kereeeeeen banget (cuma di sosmed) dan tiba-tiba alarm gue bunyi.

Gue tiba-tiba terbangun dari mimpi gue. Gue terperanjak dan menyadari bahwa gue nggak punya satu sosmed keren sekalipun (suer gue bohong). Dan gue melirik ke bokap nyokap gue *halah* maksud gue bapak ibuk gue, mereka masih tidur, mereka adalah orang keren yang nggak make satu sosmed sekalipun, tapi mereka tetep romantis tanpa upload foto ke sosmed, tetep bisa nyangoni gue tanpa update status "berangkat kerja dulu ya buat nyekolahin anak bla bla bla", tetep cakep tanpa make krim-nya kamera 360. "Kita itu anak jaman sekarang, beda sama bapak ibuk kita, heloooooohhhh". Iya iya iya gue juga tau keleuusss. Gue juga anak jaman sekarang -____-

Pokoknya inti dari postingan gue ini adalah jangan deh kalo elo ngumpulin duit sangu lo cuma buat beli hp android trus biar bisa make sosmed keren. Kalo tujuan lo emang kayak gitu haduh sorry ya, buat gue itu iyuh banget. Gue bukannya ngiri karena hp gue cuma samsung champ, gue juga g mau bilang kalo sebenarnya gue bisa beli hp keren, tapi yang jadi perhitungan gue kenapa gue milih jadi remaja kudet adalah minimal gue bisa komunikasi sama bapak ibuk gue, maksimalnya nanti aja kalo bapak ibuk gue udah ogah bales SMS gue trus mintanya BBM-an 😱

Ingat waktu g pernah berhenti pas kita asik buat moment di path San! Waktu g pernah berhenti pas kita asik upload foto di instagram. Waktu g pernah mau ngalah sama kita, ia terus berjalan konsisten dari detik ke menit dan selanjutnya, ia berjalan terus tanpa berhenti, sedangkan kita? Kita memang sibuk, sibuk bersosial media, kita lupa bahwa waktu selalu menuntut banyak pada kita, tapi kita selalu lupa.

30/06/2014

Belajar atau Bekerja?

Ketika menulis ini, aku sedang duduk di ruang tunggu apotek tempat dimana aku bekerja. Tepat 1 bulan yang lalu aku baru saja merayakan kelulusan SMA-ku dan tentu saja aku belum berijazah, tapi hari ini aku telah menikmati gaji atas pekerjaanku.

Aku rasa aku terlalu terburu-buru untuk memulai sebuah pekerjaan diusiaku yang baru saja memperoleh KTP tahun lalu. Tetapi alasan mengapa aku memulainya terlalu awal adalah aku tak mau menjadi lulusan SMA yang hanya makan, tidur dan mandi selama 3 bulan. Iya, aku sedang menunggu September. Bulan dimana rata-rata anak seumuranku atau bahkan yang lebih tua sekalipun memulai kuliah mereka, aku akan menyebutnya dunia baruku.


Ini bukan pekerjaan yang akan memberiku jaminan dimasa depan. Tunggu dulu, aku terlalu bertele-tele. Maksudku tidak menjamin hidupku seminggu setelah aku menerima gaji. Ini adalah pekerjaan yang bahkan akan menyita waktuku selama genap 3 bulan. Aku memulainya dari jam 7 pagi hingga jam 9 malam. Yang ku maksud menyita waktu adalah waktu bersama keluargaku. Kali ini aku benar-benar menyadari betapa berharganya waktu bersama mereka setelah aku bekerja disini.
Padahal sebelum ini aku sangat rela jika waktuku terbuang sia-sia hanya untuk bermain dengan teman sekolah atau yang lainnya. Betapa singkatnya 24 jam itu ketika aku menghabiskan 14 jamnya untuk bekerja. Betapa singkatnya jika sisanya kugunakan untuk melepas lelah atas 14 jam di luar rumah. Aku tidak akan menyuruhmu untuk setiap saat berada dirumah bersama keluargamu atas apa yang ku alami sekarang, aku hanya ingin mengajakmu menghitung 24 jam dalam hidupmu, aku akan bertanya berapa menit kau gunakan 24 jam dalam hidupmu untuk hanya sekedar berbincang dengan mereka? Ayah, ibu dan saudara-saudaramu? waktu ketika kau dirumah dan melakukan semua kegiatanmu sendiri, bukan itu yang ku tanyakan.

Berbicara tentang gajiku. Aku tidak bercanda atas apa yang aku katakan, aku benar-benar menghabiskannya dalam waktu kurang dari seminggu. Mungkin kau berfikir aku berlebihan. Tapi memang ini kenyataannya. Tolong mengertilah aku, aku memutuskan untuk tidak menabung uang hasil keringatku yang tak seberapa itu.  Tapi jangan menyalahkanku sepenuhnya. Tentu saja aku memberikan sebagian untuk ibuku, karena itu adalah salah satu mimpiku.  Gaji pertama dalam hidupku, ibuku harus menikmatinya. Dan sisa daripada itu kugunakan untuk transportasi selama 30 hari dengan 40 menit perharinya untuk pulang pergi.  Bukankah itu cukup menghabiskan gajiku? Tentu saja tidak. Sebelum untuk bensin dalam kurun waktu 30 hari aku menggunakannya untuk memenuhi kebutuhanku sendiri. Inilah alasan mengapa aku memutuskan untuk tidak menabung sepeserpun di usia mudaku, bukan hanya karena gaji ku minim. Apa kali ini kau berfikir aku berhura-hura? Ayolah pikirkan baik-baik. Untuk apa kau menabung dengan usiamu yang masih belasan? Bahkan kau belum merasakan seperti apa itu kuliah.
Apa kau ingin segera menikah setelah lulus SMA sehingga kau perbanyak uangmu dengan menabung?

Apa yang lebih penting di usia mudamu selain uang? Aku perkirakan teman yang duduk disampingmu akan menjawab “belajar”. Siapa? Entahlah abaikan. Belajar dan bekerja menurutku sedikit berlawanan. Mereka akan sulit menyatu jika dipertemukan, mereka memiliki tujuan yang berbeda. Aku tau kau akan mengatakan ini, “Semua itu tergantung dengan siapa yang menjalaninya”. Oke baiklah simpan dulu pendapat mu itu. Tapi ini faktanya, aku bekerja dengan seseorang yang 1 tahun lebih tua dariku, maksudku pendidikannya, saat ini ia kuliah sambil bekerja, tetapi aku jarang sekali melihatnya pergi ke kampus. Kau tak akan percaya jika ia memberiku alasan ini, “Aku sudah merasakan seperti apa menghasilkan uang dan aku merasakan betapa malasnya aku mengambil kelas hari ini”. Ini bukan satu-satunya fakta, masih banyak di luar sana yang mulai asik dengan pekerjaan mereka dan meninggalkan kuliahnya atau sekedar bolos beberapa hari, hingga beberapa minggu kemudian bulan. Jika aku tidak melihat dengan mata kepalaku sendiri, aku mungkin juga sependapat denganmu, aku akan mengatakan itu juga, aku tak percaya. Tetapi jika kau berada di tengah-tengah mereka atau sedang mengalaminya, cobalah pahami betul tujuanmu sesungguhnya. Background kita sebelum hari ini mungkin adalah seorang pelajar, kita belajar dari usia 5 tahun hingga hari ini. Dan tujuan dari belajarmu tidak sepenuhnya untuk mengais rupiah. Jika persepsimu memang demikian. Mengapa kau tidak bekerja ketika usiamu masih 5 tahun? Kau bisa melakukannya dengan mengemis dijalanan, bukankah tujuan daripada itu adalah untuk mendapatkan uang? Iya benar kita membicarakan tentang bekerja. Kedua hal itu memiliki tujuan yang sama, apa bedanya?

Sebaiknya aku segera memberimu saran. Belajarlah tanpa henti, uang akan datang dengan sendirinya. Aku tidak bisa memastikan kau akan berhasil di kuliahmu tepat waktu karena disi lain kau bekerja kepada orang lain. Jika kau ingin menghasilkan uang ketika kau masih menjadi seorang pelajar, cobalah dengan apa yang bisa kau hasilkan dengan tanganmu sendiri. Tetapi jika ini adalah pekerjaan pertama dalam hidupmu, jangan terlalu fokus dengan gajinya. Belajarlah, pelajari pekerjaanmu apapun itu.

“Bekerjalah! Hingga kau merasakan betapa berharganya waktumu. Belajarlah! Hingga kau paham apa tujuan hidupmu. Bekerja dan belajarlah! Hingga kau tak tahu harus berbuat apa lagi.”

21/04/2014