27/08/2017

Ojo Lali Bahagia!

Mungkin hanya itu yang ingin disampaikan Ki Ageng Suryomentaram pada ceramahnya di Surakarta pada tahun 1931. Ia menganggap bahwa hidup dan kehidupan adalah bagian dari takdir yang memang harus terjadi. Tentang Kawruh Jiwa, istilah itu pertama kali saya dengar ketika mengikuti forum mahasiswa Psikologi Kediri, Sabtu kemarin (26/8).

Diskusi pagi itu bertemakan Raos Mardika yang merupakan kajian dari wejangan Ki Ageng sendiri. Tentu saya masih sangat asing dengan pembahasannya. Tapi, saya berangkat tidak dengan tangan kosong, sebelum duduk melingkar dengan kawan-kawan Srawung Psikologi Kediri di Pendhapa Sekolah Alam Ramadhani, seminggu terakhir ini pikiran saya tengah sibuk dengan buku milik Paulo Freire, Pendidikan Kaum Tertindas. Dimana di dalam buku itu menjelaskan tentang pendidikan sebagai kegiatan menabung; murid adalah celengan sedangkan guru adalah penabung. Sehingga kegiatan para murid hanya terbatas pada menerima, mencatat, dan menyimpan. Mereka tidak dibebaskan untuk menjadi tuan bagi pemikirannya sendiri.


Meski saya masih agak bingung, tapi di sisi lain, saya menyepakati arah pemikiran Paulo dalam bukunya tersebut. Bahwa pendidikan seharusnya tidak menuntut murid untuk tidak belajar tentang realitasnya. Bukan menuntut murid belajar berbagai istilah baru tanpa mengetahui bagaimana praktik nyata dari "nasionalisme" misalnya, atau istilah-istilah yang lain. Tapi, harusnya, pendidikan berjalan sesuai dengan kebutuhan si murid.

Jauh sebelum saya menyelami pemikiran Paulo tentang pendidikan, saya telah berpikir bahwa pendidikan dengan sistem yang ada membuat saya benar-benar bosan belajar. Saya dituntut memahami banyak sekali materi setiap harinya, saya juga dituntut untuk mendapat nilai sempurna hanya untuk mendapatkan kesimpulan bahwa tujuan "pendidikan tercapai". Padahal belajar saya hanya pada saat mau ujian. Setelah ujian selesai, hilang pula semua hafalan semalam.

Tapi, bagaimana pun, dengan segala kekurangannya, saya tetaplah out put dari sistem yang ada. Pendidikan tidak secela nyinyiran saya. Juga, saya masih memiliki tanggungjawab atas pendidikan hari ini, kelak, dan seterusnya.

Lalu apa hubungannya dengan Kawruh Jiwa?

Pendidikan dengan gaya bank diatas menurut saya adalah bentuk penindasan atas jiwa/rasa. Dimana dengan segala tuntutan yang ada, mereduksi murid menjadi sebuah "benda" atau sebuah objek. Bukan pelaku itu sendiri. Padahal seorang murid juga memiliki "karep". Ketimpangan ini akan menjadikan belajar dan pembelajaran sebagai kegiatan yang bukan lagi kebutuhan, tetapi suatu tuntutan yang membosankan. Tidak hanya itu, ambil contoh kasus murid bunuh diri karena tidak siap ujian nasional, penindasan atas jiwa/rasa saja sampai bisa membawa pada keberanian murid untuk mengakhiri hidupnya (terlepas dari faktor-faktor lain yang melatarbelakangi). Jadi mau dikatakan sepele ya tidak sepele, mau dikatakan tidak sepele ya sistem masih belum nemu alternatif yang pas.

Akhirnya, dengan segala kekurangan, karena saya juga belum nemu solusi, jalan terakhir yang bisa saya lakukan ya "ngolah roso" sesuai dengan wejangan dari Ki Ageng. Mau bagaimana pun, belajar itu tetap "kebutuhan", setidak suka apa pun kita, atau semembosankan apa pun sekolah. Karena sampai kapan pun belajar akan tetap menjadi sebuah kebutuhan. Tapi, mau "kepenak" kayak gimana, kalau misalkan saya tidak suka fisika tapi demi "lulus" saya kudu wajib dapat nilai di atas rata-rata. Ya sudah, lagi-lagi ya harus "ngolah roso". Ya, dengan belajar fisika kita menjadi bisa menyingkap rahasia alam, tentang gravitasi misalnya.

Akhirnya segala sesuatu kita kembalikan pada diri sendiri, dalam bentuk mawas diri, melalui "ngolah roso" ben amprih tatag.

Tapi, kalo misal ada sekolah rakyat yang mengantarkan anak-anak menjadi diri mereka sendiri, saya tak nimbrung ke situ! Hahahaha

Salam bungah-susah!

2 comments:

Mari berdiskusi, kalo perlu sambil ngopi ;)
Tinggalkan komentar tapi jangan tinggalkan aku.