04/02/2018

Selamatkan Diri dari Rendah Diri #2

Sebelum berperang, sudahkah kamu percaya dengan dirimu sendiri? Selamatkan Diri dari Rendah Diri #1

Tidak terasa bermain peran menjadi seorang guru telah berjalan hampir genap satu bulan. Meski mengajar bukan lagi hal baru, tetapi bagaimana pun dalam konteks ini ya tetap saja baru. Dengan banyak sekali tanggungjawab yang diemban, mulai dari perencanaan mengajar yang harus dipersiapkan, penilaian, dan harapan tentang kelas yang selalu mengesankan, membuat mengajar disini memiliki perbedaan yang signifikan dibanding mengajar private dari rumah ke rumah, atau mengajar di lembaga bimbingan belajar. Apalagi mengajar kali ini dalam rangka menuntaskan persoalan kuliah dan membawa nama kampus, bukan membawa nama pribadi. Jika dipikir berat ya berat, dipikir selow ya selow. Katanya, setiap permasalahan pasti ada jalan keluarnya. Kalau kata Gus Dur sih, “Gitu aja kok repot”.

Mengeluh sepertinya persoalan manusiawi. Jadi ya wajar. Karena kemampuan kita memang terbatas. Tapi, bagaimana jika ternyata mengeluh bukan persoalan pekerjaan itu di luar dari kemampuan kita, tetapi, sebuah sikap kita yang membatasi kemampuan diri sendiri? Bahwa bukan karena pekerjaannya yang berat, tetapi, kita lah yang belum terbiasa atau belum selesai beradaptasi dengan pekerjaan baru, tapi terburu-buru berasumsi bahwa “saya tidak bisa” atau “ini menyusahkan saya”. Ambil contoh begini, misal sebelum kita dipaksa untuk praktik mengajar di sekolah, keseharian kita sebelum itu hanya nongkrong, baca buku sambil nunggu senja, scrolling timeline instagram, tidur 12/24 jam dalam sehari, dan dipenuhi pekerjaan-pekerjaan tanpa tuntutan lainnya. Dari situ, kita sadar bahwa berubah drastis hanya kemampuan spiderman ketika berganti kostum laba-labanya. Sedangkan kita, ya butuh proses. Tidak ada orang bisa menjadi sangat profesional dalam semalam. Semua berawal dari susah payah dan berujung pada hasil yang melimpah ruah. Ya, jika kita sungguh-sungguh dan tidak banyak mengeluh.

Lalu, bagaimana jika sumber masalah datangnya bukan karena gagal beradaptasi, tapi dari diri kita sendiri?

Itulah yang ku rasakan ketika mengajar di minggu kedua, di salah satu kelas unggulan di sekolah itu. Mungkin tidak banyak yang tahu, karena sengaja ku simpan sendiri. Tentang rasa percaya diriku yang tiba-tiba bersembunyi entah kemana, karena suatu alasan yang sepele. Kala perasaan itu muncul, pekerjaan menjadi berat sekali. Rasanya ingin menyampaikan begini, “saya kayaknya nggak cocok disini, saya nggak kompeten, saya banyak kurangnya, saya saya saya, dan seterusnya”. 100, 1000, bahkan berpuluh-puluh ribu alasan bisa ku buat hanya untuk mengafirmasi bahwa “saya nggak bisa!”. Seminggu lamanya saya terpuruk. Saya seperti kehilangan diri saya sendiri. Tapi, tidak setelah sebuah artikel di internet selesai ku baca. Tentang sebuah teori psikologi rendah diri,  Alfred Adler.

Manusia, kata Alfred Adler, terlahir dengan rasa rendah dirinya. Ia selalu bergantung kepada orang-orang di sekitarnya karena segala ketidakmampuannya. Lalu akan datang suatu hari ketika ia menyadari bahwa ketidakmampuan yang ada pada dirinya adalah sebuah kelemahan. Dari sanalah perasaan rendah diri muncul. Membawa manusia kepada dua kemungkinan respon, meningkatkan kemampuan diri atau menarik diri. Bahwa perasaan rendah diri akan menjadi dorongan manusia untuk menjadikan dirinya seperti sesuatu yang mereka idealkan. Misal, dalam konteks mengajar, kita tidak akan tahu seberapa kurangnya kompetensi kita jika tidak dalam kondisi sadar dan selalu berefleksi serta mengevaluasi diri. Kita akan menyadari beberapa hal bahwa ternyata kita lemah dalam penguasaan materi, atau lemah dalam pengkondisian kelas. Kita memberikan ukuran ideal dalam menggambarkan dua permasalahan tadi, dan kita menyadari bahwa kita belum di titik itu.

Ada dua sikap yang seringkali muncul dalam merespon kekurangan-kekurangan kita. Pertama, meningkatkan diri, berusaha mengatasi kekurangan dengan kesadaran lifelong learning. Bahwa dalam menjalani hidup kita selalu belajar. Kedua, menarik diri. Sikap itu lah yang kerap kita ambil ketika kita lupa bahwa hidup adalah persoalan melampaui, bukan lari. Memilih lari dari masalah dengan keyakinin diri “saya tidak bisa, ini bukan saya, saya tidak cocok disini” adalah sikap rendah diri yang membuat kita berhenti bermain Super Mario, padahal sejak awal kita sepakat untuk memenangkan permainan. Tapi, keputusanmu menarik diri membuatmu berpindah ke permainan yang lain. Ketika kamu menemukan dirimu tak berdaya dalam permainan yang baru, kamu menyerah dan berpindah ke permainan selanjutnya, bermain-menyerah, bermain-menyerah, dan seterusnya. Lalu, suatu hari kamu menyadari bahwa tidak ada satu pun permainan yang kamu selesaikan. Kamu terlalu sibuk menyerah dan lari. Tidak ada satu kompetensi yang benar-benar kamu kuasai. Kamu melewatkan hidup dengan menghindari belajar.


Dari sanalah saya terhenyak. Bahwa ternyata perasaan rendah diri bukan perasaan yang mengingatkan kita tentang betapa tidak mampunya kita, tapi sebuah reminder untuk “selesaikan permainan!”. Lalu ketika kita berhasil menyelesaikan permainan, kita akan bertemu dengan perasaaan rendah diri yang lain di permainan yang baru. Begitu seterusnya.

Selamat melampaui diri dan berhenti mengeluh!