12/03/2018

Semua Menjadi Tidak Penting pada Masanya #3

Dalam percakapan di grup whatsapp itu, aku menemukan berbagai tipe respon atas tulisan yang ku bagikan. Ini hanya berdasarkan asumsi belaka, kesimpulan yang kubuat sepihak tanpa mendiskusikan dengan mereka yang terlibat dalam percakapan. Iya, aku hanya sedang mengungkapkan bagaimana aku menilai orang lain, seperti yang biasa kalian lakukan. Bedanya, mungkin aku menuliskannya disini, sedangkan kalian, hanya kalian simpan sendiri.

Source : Google

1. Tipe Realistis

Tipe ini adalah ia yang berkomentar “Tak ndelok wae lah ben gak kesroh....saiki tak mikir kuliah wae seng bener.... ben ndang cepet lulus, gek ndang mergawe.... golek kehidupan dunia....”. Tipe ini berpikiran bahwa apa yang menjadi topik pembicaraan tidaklah penting jika dibandingkan dengan nasib kuliah dan kehidupannya yang lebih realistis.

2. Tipe Idealis

Tipe ini adalah tipe yang berkomentar “Amin, cita-cita yang mulia. Izin COPAS”. Tipe ini bermaksud memberikan dukungan atas tulisan yang telah ku reshare, karena bisa jadi ia memiliki satu kacamata yang sama dengan penulis.

3. Tipe Realistis-Idealis

Tipe ini adalah tipe yang berkomentar “Iki perlu ditanggepi gak?”. Melihat latarbelakangnya yang telah terjun di kehidupan nyata dengan tuntutan kerja dan gaji bulanan, tapi ia masih menyempatkan untuk ikut menanggapi.

4. Tipe Plin plan

Tipe ini adalah tipe yang berkomentar “Nyimak” namun, setelahnya malah yang paling gencar membantah tulisan dengan memberikan pernyataan “Sering mengkritik penguasa, tapi polahe sama kayak penguasa. Saling menjatuhkan”, dimana artinya ia tidak memberikan dukungan atas tulisan tersebut.

5. Tipe Mengamati

Tipe mengamati adalah saya. Sebelum reshare saya telah berpikiran bahwa ini akan sangat bertolak belakang, melihat grup tersebut berisi sekumpulan mahasiswa semester akhir yang beberapa baru menyelesaikan seminar proposal skripsinya. Akhirnya, ku putuskan untuk mengamati bagaimana respon mereka, mengingat di luar sana, masih banyak mahasiswa yang masih memegang teguh idealisnya, berpikiran bahwa "kalau bukan saya yang mengkritik, siapa lagi."

6. Tipe Mengoreksi

Tipe ini adalah tipe yang meluruskan penggunaan terma oposisi yang ku pakai. Ia tidak menunjukkan apakah ia realistis ataupun idealis. Ia hanya ikut berkomentar dengan maksud memberikan pelurusan.

7. Tipe Mengalihkan Pembicaraan

Tipe ini yang sedari tadi mengikuti perbincangan, namun sama sekali tidak memberikan komentar, ya, silent reader. Tipe ini muncul ketika grup mulai agak pasif, ia datang dengan maksud mengalihkan pembahasan dengan guyonan seperti “mizone mizone, aqua aqua" dan lain sebagainya. Sejak tipe ini muncul, banyak anggota grup lain yang muncul dan menanggapi guyonannya. Akhirnya, pembicaraan teralihkan. Perbincangan selesai. Pengamatan berakhir.

11/03/2018

Semua Menjadi Tidak Penting pada Masanya #2

Selama beberapa anggota grup satu persatu memberikan komentar, saya sibuk menyimak dan berpikir tentang tiap-tiap reaksi dari mereka. Bukan menyoal tulisan yang sengaja saya reshare. Tapi, bagaimana tanggapan mereka, pun juga tanggapan saya atas mereka.

Akhirnya saya memutuskan untuk ikut berkomentar setelah sebuah chat yang menurutku memang perlu untuk ditanggapi,

“Sering mengkritik penguasa, tapi polahe sama kayak penguasa. Saling menjatuhkan.” komentar seseorang yang sebelumnya memutuskan menyimak.

Aku membacanya dengan mengernyitkan kening, sedikit agak gagal paham. Berusaha memahami maksud dari komentar itu. Akhirnya, aku coba mengartikannya begini; mungkin ia berprasangka bahwa pengkritik adalah oposisi, lawan, oponen, kompetitor, atau rival  (entah bagaimana orang membahasakannya). Dimana maksud dari kritikannya bukan untuk membangun tapi menjatuhkan. Bukan untuk memberikan gagasan-gagasan positif, tapi hanya nyinyiran. Juga tentang pilihan kata 'penguasa', sepertinya dari sanalah pemahaman saling menjatuhkan ia sematkan. Bahwa wakil bukanlah wakil, tapi penguasa. Hmmm

Anggap saja benar. Akhirnya ku baca ulang tulisan yang ku kirim tadi. Dan aku menemukan tidak ada satu pun tulisan yang bersifat menjatuhkan penguasa, seperti yang ia katakan. Jangan-jangan ia hanya asal berkomentar tanpa memahami apa yang ia bicarakan(?)

“Soal kritik, sepertinya kita memiliki persepsi yang berbeda. Mengkritik bukan berarti oposisi. Mungkin si penulis ada maksud menyumbangkan gagasannya untuk mendukung atau mensupport ‘penguasa’, dengan saran-sarannya melalui tulisan di atas :)” akhirnya aku menanggapi.

Tapi, sayangnya ia malah mersepon seperti ini, "Mantap, kita memiliki sudut pandang yang berbeda."

Tidak habis pikir memang dengan balasan terakhirnya. Jika perbincangan ini adalah sebuah forum diskusi serius, maka akan terdengar aneh ketika seseorang menyuguhkan persepsinya atas suatu hal, dengan maksud meluruskan persepsi ambigu yang orang lain sampaikan atas suatu hal yang sama, tapi, hanya direspon "yeee kita punya sudut pandang yang berbedaaaaa". Haha, ini apaaaaaaaaa -_-

"Tidak ada yang lebih suka mengkritik daripada pihak oposisi, dari realita politik di tanah aerrrr" tambahnya.

Ia membalas lagi? Ah aku sedikit gemas membacanya. Kali ini ia berbicara perihal realita, mungkin artinya sebelum menyampaikan pernyataan itu, ia telah melakukan survei panjang, observasi dan wawancara kepada siapa saja yang mungkin pernah menulis kritikan-kritikan di kolom opini surat kabar, atau para demonstran yang sedang berdemo di jalanan, atau bahkan melalui cerita orang. Ya, semoga saja ia memiliki dasar.

Lalu, anggota lain yang baru muncul ikut berkomentar. Ia menyanggah atas penggunaan istilah oposisi yang ku gunakan.

“Aku agak tidak setuju, menurut Nurcholis Madjid, mengkritik itu bagian dari oposisi selama mengkritiknya membangun atau check and balance. Sedangkan kritik yang menjatuhkan disebutkan dengan istilah oposisionalisme.” Jelasnya.

Oww, jadi begitu. Menarik. Perihal terma itu memang perlu diluruskan. Akhirnya ku tambali begini, “mungkin singkatnya, maksud dari argumenku tadi adalah; Berdebat bukan untuk mencari pemenang, Mengkritik bukan berarti membenci.”

Semua Menjadi Tidak Penting pada Masanya

Mungkin suatu hari nanti, entah empat, delapan, atau sepuluh tahun ke depan, saya akan berpikir bahwa kegiatan menulis di blog Someday sangatlah tidak penting.

Bahkan, dulu, ketika masih sekolah dasar, bermain petak umpet, kelereng, dan bongkar pasang yang menjadi rutinitas setiap sepulang sekolah menjadi tidak penting di usia SMP, SMA, apalagi di usia 23 tahun, hehehe.
Source : Google
Btw penting nggak? xixixi

Ketika menulis ini, status saya adalah mahasiswa semester akhir dengan sekumpulan rencana untuk lulus cepat. Disamping mencari modal untuk memperlancar usaha, saya juga sedang terlibat dalam penggarapan sekolah alam, semoga lancar.

Lalu, sebuah chat tiba-tiba masuk. “Share dong kak,”

Assalamu'alaikum wa rohmatullahi wa barokatuhu.
Selamat malam, kawan-kawanku sekalian. Salam sejahtera bagi kita semua.

Syukur alhamdulillah saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuat, karena sampai saat ini kita masih diberikan kekuatan untuk memikirkan hal-hal yang kiranya belum sempat terpikirkan.

Kalau boleh tahu, apa kegiatan kalian di Hari Minggu ini? Jalan-jalan bersama kekasih, nonton di bioskop bersama teman, atau belanja di Mall bersama keluarga? Atau tidak semuanya?

Apapun itu, yang penting semoga Hari Minggu kalian terasa ceria dan bahagia. Saya sendiri lebih memilih untuk menulis sambil menikmati segelas kopi dan sebatang udud. Tapi jangan salah sangka dulu, kelihatannya saya jomblo, padahal sebenarnya tidak. Tidak punya pasangan maksudnya.

Tapi setidaknya dengan menulis, saya bisa mencurahkan seluruh isi hati, pikiran, emosi, bahkan harapan saya. Bukankah karya tulis adalah anak rohani yang merefleksikan diri penulisnya?

Saya menggaris bawahi, ada satu proses demokrasi yang "cacat" di kampus tercinta kita STAIN Kediri. Kecacatan tersebut saya nilai dari beberapa hal, diantaranya: