11/03/2018

Semua Menjadi Tidak Penting pada Masanya #2

Selama beberapa anggota grup satu persatu memberikan komentar, saya sibuk menyimak dan berpikir tentang tiap-tiap reaksi dari mereka. Bukan menyoal tulisan yang sengaja saya reshare. Tapi, bagaimana tanggapan mereka, pun juga tanggapan saya atas mereka.

Akhirnya saya memutuskan untuk ikut berkomentar setelah sebuah chat yang menurutku memang perlu untuk ditanggapi,

“Sering mengkritik penguasa, tapi polahe sama kayak penguasa. Saling menjatuhkan.” komentar seseorang yang sebelumnya memutuskan menyimak.

Aku membacanya dengan mengernyitkan kening, sedikit agak gagal paham. Berusaha memahami maksud dari komentar itu. Akhirnya, aku coba mengartikannya begini; mungkin ia berprasangka bahwa pengkritik adalah oposisi, lawan, oponen, kompetitor, atau rival  (entah bagaimana orang membahasakannya). Dimana maksud dari kritikannya bukan untuk membangun tapi menjatuhkan. Bukan untuk memberikan gagasan-gagasan positif, tapi hanya nyinyiran. Juga tentang pilihan kata 'penguasa', sepertinya dari sanalah pemahaman saling menjatuhkan ia sematkan. Bahwa wakil bukanlah wakil, tapi penguasa. Hmmm

Anggap saja benar. Akhirnya ku baca ulang tulisan yang ku kirim tadi. Dan aku menemukan tidak ada satu pun tulisan yang bersifat menjatuhkan penguasa, seperti yang ia katakan. Jangan-jangan ia hanya asal berkomentar tanpa memahami apa yang ia bicarakan(?)

“Soal kritik, sepertinya kita memiliki persepsi yang berbeda. Mengkritik bukan berarti oposisi. Mungkin si penulis ada maksud menyumbangkan gagasannya untuk mendukung atau mensupport ‘penguasa’, dengan saran-sarannya melalui tulisan di atas :)” akhirnya aku menanggapi.

Tapi, sayangnya ia malah mersepon seperti ini, "Mantap, kita memiliki sudut pandang yang berbeda."

Tidak habis pikir memang dengan balasan terakhirnya. Jika perbincangan ini adalah sebuah forum diskusi serius, maka akan terdengar aneh ketika seseorang menyuguhkan persepsinya atas suatu hal, dengan maksud meluruskan persepsi ambigu yang orang lain sampaikan atas suatu hal yang sama, tapi, hanya direspon "yeee kita punya sudut pandang yang berbedaaaaa". Haha, ini apaaaaaaaaa -_-

"Tidak ada yang lebih suka mengkritik daripada pihak oposisi, dari realita politik di tanah aerrrr" tambahnya.

Ia membalas lagi? Ah aku sedikit gemas membacanya. Kali ini ia berbicara perihal realita, mungkin artinya sebelum menyampaikan pernyataan itu, ia telah melakukan survei panjang, observasi dan wawancara kepada siapa saja yang mungkin pernah menulis kritikan-kritikan di kolom opini surat kabar, atau para demonstran yang sedang berdemo di jalanan, atau bahkan melalui cerita orang. Ya, semoga saja ia memiliki dasar.

Lalu, anggota lain yang baru muncul ikut berkomentar. Ia menyanggah atas penggunaan istilah oposisi yang ku gunakan.

“Aku agak tidak setuju, menurut Nurcholis Madjid, mengkritik itu bagian dari oposisi selama mengkritiknya membangun atau check and balance. Sedangkan kritik yang menjatuhkan disebutkan dengan istilah oposisionalisme.” Jelasnya.

Oww, jadi begitu. Menarik. Perihal terma itu memang perlu diluruskan. Akhirnya ku tambali begini, “mungkin singkatnya, maksud dari argumenku tadi adalah; Berdebat bukan untuk mencari pemenang, Mengkritik bukan berarti membenci.”

0 comments:

Post a Comment

Mari berdiskusi, kalo perlu sambil ngopi ;)
Tinggalkan komentar tapi jangan tinggalkan aku.