Bahkan, dulu, ketika masih sekolah dasar, bermain petak umpet, kelereng, dan bongkar
pasang yang menjadi rutinitas setiap sepulang sekolah menjadi tidak penting di
usia SMP, SMA, apalagi di usia 23 tahun, hehehe.
Ketika menulis ini, status saya adalah mahasiswa semester
akhir dengan sekumpulan rencana untuk lulus cepat. Disamping mencari modal
untuk memperlancar usaha, saya juga sedang terlibat dalam penggarapan sekolah
alam, semoga lancar.
Lalu, sebuah chat tiba-tiba masuk. “Share dong kak,”
Assalamu'alaikum wa rohmatullahi wa barokatuhu.
Selamat malam, kawan-kawanku sekalian. Salam sejahtera bagi kita semua.
Syukur alhamdulillah saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuat, karena
sampai saat ini kita masih diberikan kekuatan untuk memikirkan hal-hal yang
kiranya belum sempat terpikirkan.
Kalau boleh tahu, apa kegiatan kalian di Hari Minggu ini? Jalan-jalan
bersama kekasih, nonton di bioskop bersama teman, atau belanja di Mall bersama
keluarga? Atau tidak semuanya?
Apapun itu, yang penting semoga Hari Minggu kalian terasa ceria dan
bahagia. Saya sendiri lebih memilih untuk menulis sambil menikmati segelas kopi
dan sebatang udud. Tapi jangan salah sangka dulu, kelihatannya saya jomblo,
padahal sebenarnya tidak. Tidak punya pasangan maksudnya.
Tapi setidaknya dengan menulis, saya bisa mencurahkan seluruh isi hati,
pikiran, emosi, bahkan harapan saya. Bukankah karya tulis adalah anak rohani
yang merefleksikan diri penulisnya?
Saya menggaris bawahi, ada satu proses demokrasi yang "cacat"
di kampus tercinta kita STAIN Kediri. Kecacatan tersebut saya nilai dari
beberapa hal, diantaranya:
Pertama, sejatinya sistem pemilihan pemimpin dengan
memakai cara voting tidak pernah dianjurkan dalam sejarah dan konstitusi
republik ini. Hal ini bisa dilihat dalam berbagai periode dalam sejarah Islam
seperti zaman Nabi Muhammad SAW, Abu Bakar, Umar bin Khattab, dan Umar bin Abdul
Aziz.
Dalam periode tersebut, mereka menggunakan musyawarah sebagai proses
pengambilan keputusan, mulai keputusan untuk membuat kebijakan bagi umat sampai
keputusan untuk memilih pemimpin. Dasar dari musyawarah ini sudah termaktub
dalam Al-Qur'an (Surat As-Syura ayat 38) dan konstitusi republik kita (Sila
Keempat Pancasila). Artinya, voting tidak terjelaskan dalam proses sejarah
tersebut. Lantas, mengapa kita masih memakainya?
Kedua, kerawanan dari sistem voting ini salah satunya adalah jika cara
tersebut dipakai untuk menentukan kebijakan bagi umat. Padahal, umat terdiri
dari beragam kepentingan, latar belakang, identitas, dan lainnya. Tentunya jika
voting dijadikan sebagai cara untuk menetapkan sebuah kebijakan, jelas kelompok
mayoritas yang akan mendominasi. Bagaimana sistem jaring aspirasi bagi kelompok
minoritas dan kelompok pasif? Tentunya mereka juga memiliki hak dan aspirasi
yang ingin disampaikan dan diwujudkan, bukan?
Ketiga, kebijakan tentu erat kaitannya dengan
kemaslahatan atau kesejahteraan. Tiap kebijakan, haruslah berlandaskan atas
kemaslahatan dan kesejahteraan umat, bukan kelompok tertentu. Dasarnya jelas
ada pada kaidah fiqh yang berbunyi: _tasharaful al-imam 'ala ar-raiyyah manutun
bi al-maslahah_. Oleh karenanya, sebuah pemerintahan haruslah aktif dan
inovatif dalam membuat kebijakan yang berpihak pada kemaslahatan umat secara
keseluruhan.
Akan tetapi jika sebuah pemerintahan hanya bertugas menjalankan
kegiatan-kegiatan tertentu, yang sebenarnya kegiatan tersebut tidak ada
kaitannya sama sekali dengan kemaslahatan umat, maka pemerintahan tersebut tak
ubahnya panitia Event Organizer yang bertugas membuat kegiatan-kegiatan dan
menghabiskan anggaran untuk kegiatan itu.
Pola pemerintahan yang demikian akan terlihat kaku dan monoton. Padahal
perkembangan sosial di kampus sangat cepat, mengikuti perkembangan teknologi
digital dan komputerisasi. Tridharma Perguruan Tinggi yang seyogyanya
dijalankan pula oleh pemerintahan mahasiswa menjadi abstain dan vacuum. Jika
yang terjadi demikian, maka sebaiknya pemerintahan berikutnya perlu mengoreksi
diri agar lebih kreatif dan inovatif dalam memerintah.
Keempat, tidak adanya lembaga pengontrol dalam
sistem pemerintahan di kampus menjadikan eksekutif dan legislatif melenggang
bebas. Jika kalian mencontoh model pemerintahan Republik Indonesia, kalian akan
melihat adanya 3 lembaga yang saling berkait dan saling mengontrol satu dengan
yang lainnya. Ketiga lembaga tersebut adalah eksekutif, legislatif, dan
yudikatif. Pertanyaannya, model pemerintahan di STAIN Kediri sebenarnya
mencontoh model pemerintahan apa atau siapa? Karena sesungguhnya tidak ada
lembaga yudikatif yang bertugas menjalankan fungsi kontrol bagi pemerintahan
yang tengah berjalan.
Demikian tulisan yang saya buat. Semoga bermanfaat bagi kita semua.
Mari masing-masing dari kita saling merefleksikan diri menuju pemerintahan
STAIN Kediri yang lebih baik.
Sekian dan terima kasih.
Selamat malam untuk gadisku yang saat ini sedang dirawat dan
ditimang-timang lelaki lain. I love you so much.
Wassalamu'alaikum wa rohmatullahi wa barokatuh.
Setelah saya membacanya hingga selesai, saya balas begini, “Tulisan
anonim itu bagian dari tulisan yang tidak bisa dipertanggungjawabkan. Lah,
tidak jelas siapa penulisnya.”
Tidak peduli apa balasannya, siapa penulisnya, nyatanya itu tidak mengurungkan niatku untuk tetap reshare ke
salah satu grup di whatsapp.
Beberapa menit setelah saya paste dan kirim ke grup, salah satu anggota grup membalas dengan pertanyaan
begini, “Iki perlu ditanggepi gak?”
Salah satu yang lain membalas, “Nyimak”
“Tak ndelok wae lah ben gak kesroh....saiki tak mikir kuliah
wae seng bener.... ben ndang cepet lulus, gek ndang mergawe.... golek kehidupan
dunia....”
“Amin, cita-cita yang mulia. Izin COPAS”
Selama beberapa anggota grup satu persatu memberikan
komentar, saya sibuk menyimak dan berpikir tentang tiap-tiap reaksi dari
mereka. Bukan menyoal tulisan yang sengaja saya reshare. Tapi, bagaimana
tanggapan mereka, pun juga tanggapan saya atas mereka.
Alangkah lucunya negeri ini : )
ReplyDelete