Jika ada kata yang bisa menggambarkan siapa bapakku, akan ku tulis kurang lebih begini...
Bapak memperlakukan anak-anaknya seperti kawannya.
Bagi kebanyakan anak perempuan, mereka
terkadang lebih dekat dengan Bapak dibanding Ibunya. Saya tidak. Tidak ada
kecenderungan seperti itu. Ibu bukan wanita karir. Ia dengan begitu bangga ku
sebut Ibu Rumah Tangga. Bagiku Ibu dan rumah adalah satu kesatuan yang hampir
tak bisa dibedakan, keduanya adalah tempat pulang. Jadi Ibu adalah tempat
berteduhku, tempat sarapan dan tidur malamku, ia tak pernah jauh walau hanya
sejengkal kaki. Sedangkan bapak adalah orangtua yang memiliki karakter ngemong, bisa ngimbangi usia
anak-anaknya, terlebih asik diajak bicara, bahasanya tidak pernah menggurui. Saya
ini temannya ketika sedang berdiskusi, tapi kalau pagi-pagi salim pamit sambil
minta uang bensin, disitu saya berperan jadi anaknya, hehehe.
Bapak tidak pernah memaksakan kehendak dan sangat demokratis.
Saya nggak pernah dipaksa untuk
jadi ABCDEFGHIZ. Dalam mengambil keputusan saya berdiri sendiri. Bapak memberikan
pertimbangan hanya ketika saya minta, itu pun hanya memberikan pertimbangan, keputusan
tetap di tangan saya. Ia hanya mengambil porsi sedikit dan seperlunya atas
saya, yang artinya bapak memberikan kepercayaan kepada anak-anaknya. Pun ketika
saya salah, bapak mengarahkan bukan menyalahkan.
Bapak tidak pernah menyakiti perasaan siapa pun bahkan untuk menegur
saya ketika salah.
Bapak adalah orang tegas berhati
lembut. Ia selalu menyampaikan hal-hal masuk akal meski ketika marah. Sambil menghisap
rokoknya, ia sering mendudukkan ku di kursi ruang tamu sambil bicara tentang
harusnya bagaimana. Meski begitu, saya tidak dibiarkannya diam, selalu ada
dialog di tengah ketegangan. Tapi, sekali lagi, bapak tidak pernah menyakiti
perasaan saya meski sedang marah.
Bapak, sosok yang berani, jujur, tanggung jawab, sabar, dan sederhana.
Tidak ada kata yang bisa saya
ungkapkan tentang ini. Setiap bapak adalah bapak yang luar biasa bagi anak-anaknya.
***
Sore tadi, di kursi teras rumah,
menjelang Maghrib, saya menemani bapak ngisis
di sana. Mengomentari kucing yang tak pernah habis polah tingkahnya. Kami menertawakan
satu-satunya kelucuan di sore itu. Sambil pembicaraan serius, sedang, dan
ringan saling kami lontarkan.
Di sela-sela waktu seperti senja sore itu, bapak selalu mengundangku untuk menemaninya duduk di teras rumah. Kadang bisa berjam-jam, hanya saja di tengah-tengah Maghrib yang belum rampung tadi, anak SD yang biasa les di rumah sudah datang. Saya tepuk lutut bapak, menyaratkan ijin masuk rumah duluan.
Di sela-sela waktu seperti senja sore itu, bapak selalu mengundangku untuk menemaninya duduk di teras rumah. Kadang bisa berjam-jam, hanya saja di tengah-tengah Maghrib yang belum rampung tadi, anak SD yang biasa les di rumah sudah datang. Saya tepuk lutut bapak, menyaratkan ijin masuk rumah duluan.
***
Sekali lagi saya kenalkan siapa bapakku, ia adalah orang yang biasa-biasa saja dengan nilai rapornya semasa sekolah. Karena baginya sekolah adalah mengisi waktu luang dan pengalaman masa muda. Tapi, bapak adalah orang yang selalu bijak mengambil hikmah
dari setiap kejadian dan pengalaman dalam hidupnya. Ia membangun keluarga,
membesarkan dan menyekolahkan anak-anaknya hingga kuliah dan lulus bukan tanpa
tekanan, induk ayam dan anaknya adalah keajaiban alam yang pernah ia jadikan
pelajaran.
Seekor ayam tanpa akal, bisa
membesarkan lima hingga sembilan anak-anaknya.
Selamat Hari Bapak, Pak!
Terimakasih. Tulisannya selalu meneduhkan. :)
ReplyDelete