Sebuah kelas begitu ramai dan berisik. Anak-anak masih saja seru melempar-lempar kertas, bersembunyi dari temannya di bawah meja, berlari-larian, tertawa, dan beberapa dari mereka keluar masuk kelas, tanpa menghiraukan guru yang sedari tadi memukul-mukulkan kemoceng ke bangkunya. Ekspresinya berubah menjadi begitu garang, sebentar lagi teguran yang hampir tak bisa dibedakan dengan cacian akan keluar dari mulutnya. Anak-anak akan dihukum dengan jeweran, berdiri di depan kelas, atau harus mendengarkan nasihat-nasihat dengan nada tinggi hingga bel pulang sekolah berbunyi.
Ada juga kelas yang begitu hening, duduk seorang guru di kursinya sambil menjelaskan materi-materi dari bahan ajar. Meski seisi kelas tampak mendengarkan, tapi anak-anak bisa menangkap sebuah ancaman di kelas mereka. Tidak ada yang berani menolehkan kepalanya, menselonjorkan kakinya, atau hanya menyandarkan tubuhnya pada kursi. Apalagi jika harus menjawab gerutu dari teman sebangkunya. Tapi, bagi guru, kelas yang hening adalah kelas yang tenang, kelas yang berhasil ia kondisikan sesuai harapan.
Proses belajar mengajar tidak terlepas dari tujuan belajar itu sendiri. Keberhasilan belajar diukur dari target-target yang berhasil dicapai melalui proses pembelajaran. Sebelum mengajar, banyak rencana yang telah disiapkan guru. Bahkan melalui kurikulum, guru telah diberikan perangkat yang rinci. Guru hanya tinggal mengeksekusi. Tapi, seringkali guru mengabaikan hal pokok lain selain perancanaan yang matang, bahan ajar yang memadahi, dan media belajar yang mewakili. Ialah mengajar dengan hati, mengajar dengan rasa.
Anggaplah kita adalah guru yang mengajar di kelas gaduh seperti yang saya gambarkan dalam paragraf pertama. Besar kemungkinan bagi kita semua untuk bersikap reaktif seperti memukul-mukul kemoceng, menunjukkan ekspresi kita yang paling garang, tidak segan meluapkan amarah, melontarkannya dengan perkataan-perkataan yang tidak baik dengan nada yang tinggi, dan semua itu kita lakukan dengan begitu reaktif, tanpa kita sendiri tahu apakah menjelma menjadi pemimpin serdadu adalah satu-satunya cara yang paling tepat. Sikap reaktif tersebut singkat kata saya simpulkan sebagai luapan dari raos kemropok (rasa tidak senang, jengkel, kesal hati, dongkol, gregetan, pedar, kecewa, sebal, jemu, gondok, dan istilah-istilah lain yang sedefinisi). Dimana perasaan itu bisa mudah diluapkan ketika kita lupa bahwa anak-anak yang kita hadapi adalah anak yang memiliki rasa dan berperasaan. Ya, kita sering mengabaikan hal pokok ini.
Tentang proses belajar mengajar yang hening dengan banyak manipulasi tersembunyi di dalamnya, seperti yang saya gambarkan pada paragraf ke dua, bukanlah bagian praktik mengajar dengan hati. Mengajar dengan hati, berarti memahami bahwa anak-anak juga berperasaan sama seperti kita, akan mengantarkan pada proses pembelajaran yang damai, proses pembelajaran yang merdeka, yang dilandasi sikap pengertian dan memahami. Artinya kelas yang hening belum tentu kelas yang damai. Kelas yang damai adalah kelas yang merdeka yang ditunjukkan dengan perasaan-perasaan senang di dalamnya, bukan perasaan terkekang atau terancam.
//USAHA MENEGUHKAN KEMBALI MERDEKA BELAJAR//
Meski raos kemropok adalah perasaan yang wajar dan manusiawi, tapi dalam konteks pendidikan yang berlandaskan pada konsep merdeka belajar, raos kemropok menjadi masalah substansial yang harus diperbincangkan dan ditindak lanjuti.
Memahami anak dari sudut pandang rasa yang dimilikinya, dapat dilihat melalui 4 tahapan :
Satu, tahapan ketika anak memiliki rasa, tapi, raganya belum berfungsi. Seperti bayi yang menangis karena lapar (rasa), tapi belum bisa memenuhi kebutuhannya sendiri karena raganya belum berfungsi.
Dua, tahapan ketika anak memiliki rasa, raganya sudah berfungsi, tapi, belum tahu aturan alam. Seperti anak-anak yang tertarik dengan api (rasa), ia bisa berlari mendekat ke api (raganya sudah berfungsi untuk memenuhi rasa), tapi belum memahami bahwa api memiliki sifat panas dan membakar.
Tiga, yiatu tahapan ketika anak memiliki rasa, raganya sudah berfungsi, dan sudah tahu aturan alam. Seperti anak yang sebelumnya belum tahu bahwa api memiliki sifat panas, menjadi tahu (sudah tahu aturan alam).
Empat, yaitu tahapan ketika anak memiliki rasa, raganya sudah berfungsi, dan sudah tahu aturan alam, dan bisa memahami perasaan orang lain.
Dengan melihat anak-anak sesuai dengan usianya, bisa jadi mereka masih berada pada tahapan pertama, ke dua, atau ke tiga. Maka kita sebagai orang dewasa yang berada pada tahapan ke empat, yang memiliki kemampuan memahami perasaan orang lain, sedangkan anak-anak belum mencapai tahapan itu, maka dengan posisi seperti itu, kitalah yang harus memahami anak. Bukan sebaliknya.
Saya coba gambarkan kembali. Anak berlarian di kelas ketika proses belajar berlangsung bisa memicu raos kemropok kita, yang berujung pada sikap menyalahkan anak karena mereka tidak menurut atau membuat proses pembelajaran tidak sesuai harapan. Intinya, lebih jauh, raos kemropok bisa membawa kita pada anggapan bahwa orang lain lah yang salah. Jika kita berhadapan dengan anak dan memahami mereka dari sudut pandang rasa yang dimilikinya, kita akan tersadarkan, bahwa “melakukan kesalahan” belum ada di kamus mereka. Mereka masih dalam tahapan sesuai dengan usia dan perkembangannya. Peran orang-orang dewasa di sekitarnya termasuk gurulah yang harus mengarahkan. Bukan malah menyalahkan.
Karena,
“Jika seorang guru mengajar dengan rasa kemropok, artinya mereka mengajar dengan menindas. Mengajar yang tidak ada bedanya dengan menjajah, yang semula diniatkan dalam rangka memerdekakan, malah menekan kemerdekaan itu sendiri,”
Saya lantangkan kembali semboyan sebagai komitmen yang bulat untuk menolong diri dan orang lain dari kemiskinan berpikir:
Salam Merdeka Belajar!
Menjadi guru berarti belajar sepanjang waktu!
Jadi salut ma guru2 kita sejak SD yang bisa mengajar dengan sabar
ReplyDeletejadi keinget guru -guru aku sejak sd sampai SMA
ReplyDelete