29/10/2018

Dibukanya Jalan


Saya ingin mengatakan, bahwa saya percaya alam bisa mengajak kita berbicara. Bukan hanya saya, tapi kita. Tergantung. Tergantung bagaimana setiap orang menyebut dan memaknainya. Saya menyebutnya alam, seperti pada definisinya yang utuh, bukan hanya tentang gunung, sungai, dan pemandangan. Saya menyebutnya berbicara, bukan bicara sebagai kata kerja, dimana alam sebagai subjek sedang bercakap seperti apa yang ada di bayangan kita.

Saya coba sebutkan contoh tentang bagaimana alam pernah mengajak saya berbicara. Dalam sebuah artikel yang berjudul Melawan Rasa Takut, saya pernah menuliskannya. Ketika itu, dimana usia saya masih pada fase transisi yang hebat. Tanpa siapa pun menyadari bahkan percaya, saya pernah memiliki ketakutan konyol akan jauh dari rumah dan mengurus diri “sendiri”. Hingga sebuah ajakan untuk mengikuti bakti sosial selama dua minggu lamanya membuatku ingin mencoba dan menguji diri. Tapi, saya tetap tidak berani, saya tetap penakut seperti sebelumnya, saya tidak pernah jauh dari rumah, dan saya tetap keberatan untuk memutuskan “Ya, saya berangkat!”.

Hingga, saya menemukan jawabannya dari sebuah acara TV yang jarang sekali saya tonton. Dan tentu. Saya tidak pernah berpikir apa yang saya alami hanyalah sebuah kebetulan. Tapi, dari apa yang saya harapkan ─keinginan yang besar untuk mencoba merasakan “tidak di rumah”─ dengan keadaan saya yang tak tahu harus memulainya darimana, Yang Agung selalu membukakan jalannya, melalui alam yang mengajak kita berbicara. Hahaha. Tidak ada yang lucu, sama sekali.

Melalui acara TV itu saya percaya, alam sedang mengajakku berbicara. Melalui obrolan-obrolan ringan, saya sesekali menemukan jawaban atas keresahan saya disana. Melalui apa saja tanpa terencana, saya percaya, alam berbicara, menjawab semuanya.

Tulisan ini baru dimulai.

Saya sedang mengalami keresahan. Untungnya saya pandai menutupi segala kegelisahan, seperti caramu menutupi kegalauan. Ya kan? Hahaha.

Saya baru mengajar di salah satu sekolah swasta di Kediri. Di fase adaptasi seperti ini, kadang kita mengalami kebimbangan yang membuat kita berpikir bahwa tidak ada cara lain selain lari. Ada yang tengah beradaptasi dengan waktu, dari luang menjadi sempit. Beradaptasi dengan beban, dari senggang menjadi banyak yang diurus. Atau kesusahan beradaptasi dengan orang-orang yang bisa jadi berbeda dengan orang-orang di lingkungan kita sebelumnya. Meski tidak semua orang mengalami itu. Pun juga saya.

Saya juga tidak mengalami. Saya bisa beradaptasi dengan lingkungan baru saya, ya, karena lingkunhan di sana begitu ramah. Apalagi beban kerja saya yang tidak begitu memberatkan. Dan yang terpenting untuk orang-orang yang memiliki karakter tidak teratur, mengajar 12 jam seminggu atau seminggu libur 4 hari adalah surga yang dirindukan, hahaha. Bagaimana tidak bisa beradaptasi? La wong wis krasaaaaaan.

Kecuali satu. Saya belum bisa beradaptasi dengan ekosistem belajarnya. Paradigma saya tentang belajar, sekolah, dan pendidikan tengah tersesat dan bertolak belakang dengan sekolah yang selama ini kita kenal, meski belum terlampau jauh. Singkatnya, saya sedang meyakini bahwa belajar begitu tidak efektif jika diformalkan apalagi bersifat administratif. Setiap guru memiliki tuntutan kompetensi yang harus diselesaikan dalam kurun waktu yang terbatas. Tapi, sebaliknya, guru dihadapkan dengan keragaman dan keunikan anak yang tidak terbatas. Mudahnya begini, dalam satu kelas tidak jarang kita sebagai pelajar atau sebagai pengajar menemui anak yang memilih untuk tidak memperhatikan atau sibuk dengan dirinya sendiri, meski guru sudah men-setting kelas sedemikian rupa untuk belajar yang menyenangkan. Tapi, bagaimana pun juga semua yang ada di kelas adalah tanggungjawab guru. Karena belajar begitu formal, anak yang tidak siap belajar sering dianggap pemalas dan dianggap nakal atau pengganggu jalannya pembelajaran. Dan tidak jarang pula guru selalu meneriaki, memaki, bahkan mengucilkan. Saya tidak sedang membahas harusnya bagaimana. Tapi, menggambarkan satu dari beberapa contoh ekosistem belajar yang tidak sejalan dengan yang saya yakini.

Hal-hal demikian yang kemudian membuat saya sering berpikir untuk lari, saya tidak mau menjadi bagian dari ini, saya tidak mau mengambil peran disini, saya tidak mampu, saya tidak tahu jalan keluarnya.

Hingga, alam mengambil perannya, mengajak saya berbicara melalui sebuah chatting di Whatsapp.

Lagi-lagi saya meyakini, tidak ada yang namanya kebetulan, meski berangkat dari ketidaksengajaan. Tapi, siapa yang tahu jika jalannya sedang dibuka, dan saya dituntun untuk ke sana.

Seorang kenalan yang nomornya saya simpan, membuat story tentang perhelatan Festival Literasi yang diikuti salah satu SMK di Pare. Saya selalu tertarik dengan topik itu. Itu yang membuat saya mengawali sebuah chat whatsapp dengan Iwan Kapid, seorang pegiat dan penggagas Taman baca Masyarakat di daerah Jambu, kayen Kidul.

Kapan mas sampean longgare? Saya tak main-main ke sana.

“Besok bisa. Sekalian ada acara itu,”



Sebuah percakapan biasa-biasa saja, tapi, saya menyebutnya dengan “alam sedang mengajak saya berbicara”, yang bisa jadi tidak semua orang memaknai percakapan itu sebagai sebuah jawaban atas keresahannya selama ini. Lalu mengabaikannya, lupa, dan begitu seterusnya.

Jika saya verbalkan barangkali alam berkata begini, “Ada jalan keluarnya, kok. Lewat sini. Ku antar sampai ambang pintu saja. Setelahnya lakukan sendiri ya!”

Kujawab, "SIAAAAAAPP!!!"

Temu Pendidik Daerah Kediri Raya adalah salah satu forum komunitas Guru Belajar Kediri Raya. Komunitas dimana orang-orang yang tergabung di dalamnya percaya, bahwa mereka tidak sendiri. Atas keresahan yang saya alami, bertemu dengan komunitas ini merubah keyakinan saya; saatnya memikirkan cara selain lari!

*Topik yang dibahas di pertemuan Minggu, 28 Oktober 2018 kemarin mengenai disiplin positif dan Literatre Circle (klub mambaca) akan penulis tulis dalam artikel berjudul MENGHENDAKI “PERILAKU NEGATIF DISUDAHI” BERBEDA DENGAN MENGHENDAKI “PERILAKU POSITIF DILAKUKAN”

4 comments:

  1. Jangan post jualan mulu. Beberapa kali post beginian. Hehe siapa tau penikmat tulisannya aslinya banyaj

    ReplyDelete

Mari berdiskusi, kalo perlu sambil ngopi ;)
Tinggalkan komentar tapi jangan tinggalkan aku.