Saya ingin mengatakan, bahwa saya
percaya alam bisa mengajak kita berbicara. Bukan hanya saya, tapi kita. Tergantung.
Tergantung bagaimana setiap orang menyebut dan memaknainya. Saya menyebutnya
alam, seperti pada definisinya yang utuh, bukan hanya tentang gunung, sungai,
dan pemandangan. Saya menyebutnya berbicara, bukan bicara sebagai kata kerja,
dimana alam sebagai subjek sedang bercakap seperti apa yang ada di bayangan
kita.
Saya coba sebutkan contoh tentang
bagaimana alam pernah mengajak saya berbicara. Dalam sebuah artikel yang
berjudul Melawan Rasa Takut, saya pernah menuliskannya. Ketika itu, dimana usia
saya masih pada fase transisi yang hebat. Tanpa siapa pun menyadari bahkan
percaya, saya pernah memiliki
ketakutan konyol akan jauh dari rumah dan mengurus diri “sendiri”. Hingga
sebuah ajakan untuk mengikuti bakti sosial selama dua minggu lamanya membuatku ingin
mencoba dan menguji diri. Tapi, saya tetap tidak berani, saya tetap penakut
seperti sebelumnya, saya tidak pernah jauh dari rumah, dan saya tetap keberatan
untuk memutuskan “Ya, saya berangkat!”.
Hingga, saya menemukan jawabannya
dari sebuah acara TV yang jarang sekali saya tonton. Dan tentu. Saya tidak
pernah berpikir apa yang saya alami hanyalah sebuah kebetulan. Tapi, dari apa
yang saya harapkan ─keinginan yang besar untuk mencoba merasakan “tidak di
rumah”─ dengan keadaan saya yang tak tahu harus memulainya darimana, Yang Agung
selalu membukakan jalannya, melalui alam yang mengajak kita berbicara. Hahaha. Tidak
ada yang lucu, sama sekali.
Melalui acara TV itu saya
percaya, alam sedang mengajakku berbicara. Melalui obrolan-obrolan ringan, saya
sesekali menemukan jawaban atas keresahan saya disana. Melalui apa saja tanpa
terencana, saya percaya, alam berbicara, menjawab semuanya.
Tulisan ini baru dimulai.
Saya sedang mengalami keresahan. Untungnya
saya pandai menutupi segala kegelisahan, seperti caramu menutupi kegalauan. Ya kan?
Hahaha.
Saya baru mengajar di salah satu
sekolah swasta di Kediri. Di fase adaptasi seperti ini, kadang kita mengalami
kebimbangan yang membuat kita berpikir bahwa tidak ada cara lain selain lari. Ada
yang tengah beradaptasi dengan waktu, dari luang menjadi sempit. Beradaptasi
dengan beban, dari senggang menjadi banyak yang diurus. Atau kesusahan beradaptasi
dengan orang-orang yang bisa jadi berbeda dengan orang-orang di lingkungan kita
sebelumnya. Meski tidak semua orang mengalami itu. Pun juga saya.
Saya juga tidak mengalami. Saya bisa
beradaptasi dengan lingkungan baru saya, ya, karena lingkunhan di sana begitu ramah. Apalagi
beban kerja saya yang tidak begitu memberatkan. Dan yang terpenting untuk
orang-orang yang memiliki karakter tidak teratur, mengajar 12 jam seminggu atau
seminggu libur 4 hari adalah surga yang dirindukan, hahaha. Bagaimana tidak
bisa beradaptasi? La wong wis krasaaaaaan.
Kecuali satu. Saya belum bisa
beradaptasi dengan ekosistem belajarnya. Paradigma saya tentang belajar,
sekolah, dan pendidikan tengah tersesat dan bertolak belakang dengan sekolah yang
selama ini kita kenal, meski belum terlampau jauh. Singkatnya, saya sedang
meyakini bahwa belajar begitu tidak efektif jika diformalkan apalagi bersifat
administratif. Setiap guru memiliki tuntutan kompetensi yang harus diselesaikan
dalam kurun waktu yang terbatas. Tapi, sebaliknya, guru dihadapkan dengan
keragaman dan keunikan anak yang tidak terbatas. Mudahnya begini, dalam satu
kelas tidak jarang kita sebagai pelajar atau sebagai pengajar menemui anak yang
memilih untuk tidak memperhatikan atau sibuk dengan dirinya sendiri, meski guru
sudah men-setting kelas sedemikian
rupa untuk belajar yang menyenangkan. Tapi, bagaimana pun juga semua yang ada
di kelas adalah tanggungjawab guru. Karena belajar begitu formal, anak yang
tidak siap belajar sering dianggap pemalas dan dianggap nakal atau pengganggu
jalannya pembelajaran. Dan tidak jarang pula guru selalu meneriaki, memaki,
bahkan mengucilkan. Saya tidak sedang membahas harusnya bagaimana. Tapi,
menggambarkan satu dari beberapa contoh ekosistem belajar yang tidak sejalan
dengan yang saya yakini.
Hal-hal demikian yang kemudian
membuat saya sering berpikir untuk lari, saya tidak mau menjadi bagian dari
ini, saya tidak mau mengambil peran disini, saya tidak mampu, saya tidak tahu
jalan keluarnya.
Hingga, alam mengambil perannya,
mengajak saya berbicara melalui sebuah chatting di Whatsapp.
Lagi-lagi saya meyakini, tidak
ada yang namanya kebetulan, meski berangkat dari ketidaksengajaan. Tapi, siapa
yang tahu jika jalannya sedang dibuka, dan saya dituntun untuk ke sana.
Seorang kenalan yang nomornya
saya simpan, membuat story tentang perhelatan Festival Literasi yang diikuti
salah satu SMK di Pare. Saya selalu tertarik dengan topik itu. Itu yang membuat
saya mengawali sebuah chat whatsapp dengan Iwan Kapid, seorang pegiat dan
penggagas Taman baca Masyarakat di daerah Jambu, kayen Kidul.
“Kapan mas sampean longgare? Saya tak main-main ke sana.”
“Besok bisa. Sekalian ada acara itu,”
Sebuah percakapan biasa-biasa
saja, tapi, saya menyebutnya dengan “alam sedang mengajak saya berbicara”, yang bisa
jadi tidak semua orang memaknai percakapan itu sebagai sebuah jawaban atas
keresahannya selama ini. Lalu mengabaikannya, lupa, dan begitu seterusnya.
Jika saya verbalkan barangkali
alam berkata begini, “Ada jalan keluarnya, kok.
Lewat sini. Ku antar sampai ambang pintu saja. Setelahnya lakukan sendiri ya!”
Kujawab, "SIAAAAAAPP!!!"
Kujawab, "SIAAAAAAPP!!!"
Temu Pendidik Daerah Kediri Raya
adalah salah satu forum komunitas Guru Belajar Kediri Raya. Komunitas dimana
orang-orang yang tergabung di dalamnya percaya, bahwa mereka tidak sendiri. Atas keresahan yang saya alami, bertemu dengan komunitas ini merubah keyakinan saya; saatnya memikirkan cara selain lari!
*Topik yang dibahas di pertemuan Minggu, 28 Oktober 2018 kemarin mengenai disiplin positif dan Literatre Circle (klub mambaca) akan penulis tulis dalam artikel berjudul MENGHENDAKI “PERILAKU NEGATIF DISUDAHI” BERBEDA DENGAN MENGHENDAKI “PERILAKU POSITIF DILAKUKAN”
*Topik yang dibahas di pertemuan Minggu, 28 Oktober 2018 kemarin mengenai disiplin positif dan Literatre Circle (klub mambaca) akan penulis tulis dalam artikel berjudul MENGHENDAKI “PERILAKU NEGATIF DISUDAHI” BERBEDA DENGAN MENGHENDAKI “PERILAKU POSITIF DILAKUKAN”