Sebelum berperang, sudahkah kamu
percaya dengan dirimu sendiri? Selamatkan Diri dari Rendah Diri #1
Tidak terasa bermain peran
menjadi seorang guru telah berjalan hampir genap satu bulan. Meski mengajar
bukan lagi hal baru, tetapi bagaimana pun dalam konteks ini ya tetap saja baru.
Dengan banyak sekali tanggungjawab yang diemban, mulai dari perencanaan mengajar
yang harus dipersiapkan, penilaian, dan harapan tentang kelas yang selalu
mengesankan, membuat mengajar disini memiliki perbedaan yang signifikan
dibanding mengajar private dari rumah ke rumah, atau mengajar di lembaga
bimbingan belajar. Apalagi mengajar kali ini dalam rangka menuntaskan persoalan
kuliah dan membawa nama kampus, bukan membawa nama pribadi. Jika dipikir berat
ya berat, dipikir selow ya selow. Katanya, setiap permasalahan pasti ada jalan
keluarnya. Kalau kata Gus Dur sih, “Gitu aja kok repot”.
Mengeluh sepertinya persoalan
manusiawi. Jadi ya wajar. Karena kemampuan kita memang terbatas. Tapi, bagaimana
jika ternyata mengeluh bukan persoalan pekerjaan itu di luar dari kemampuan
kita, tetapi, sebuah sikap kita yang membatasi kemampuan diri sendiri? Bahwa bukan
karena pekerjaannya yang berat, tetapi, kita lah yang belum terbiasa atau belum
selesai beradaptasi dengan pekerjaan baru, tapi terburu-buru berasumsi bahwa “saya
tidak bisa” atau “ini menyusahkan saya”. Ambil contoh begini, misal sebelum
kita dipaksa untuk praktik mengajar di sekolah, keseharian kita sebelum itu
hanya nongkrong, baca buku sambil nunggu senja, scrolling timeline instagram,
tidur 12/24 jam dalam sehari, dan dipenuhi pekerjaan-pekerjaan tanpa tuntutan lainnya.
Dari situ, kita sadar bahwa berubah drastis hanya kemampuan spiderman ketika
berganti kostum laba-labanya. Sedangkan kita, ya butuh proses. Tidak ada orang
bisa menjadi sangat profesional dalam semalam. Semua berawal dari susah payah
dan berujung pada hasil yang melimpah ruah. Ya, jika kita sungguh-sungguh dan
tidak banyak mengeluh.
Lalu, bagaimana jika sumber
masalah datangnya bukan karena gagal beradaptasi, tapi dari diri kita sendiri?
Itulah yang ku rasakan ketika mengajar
di minggu kedua, di salah satu kelas unggulan di sekolah itu. Mungkin tidak
banyak yang tahu, karena sengaja ku simpan sendiri. Tentang rasa percaya diriku
yang tiba-tiba bersembunyi entah kemana, karena suatu alasan yang sepele. Kala perasaan
itu muncul, pekerjaan menjadi berat sekali. Rasanya ingin menyampaikan begini, “saya
kayaknya nggak cocok disini, saya nggak kompeten, saya banyak kurangnya, saya
saya saya, dan seterusnya”. 100, 1000, bahkan berpuluh-puluh ribu alasan bisa
ku buat hanya untuk mengafirmasi bahwa “saya nggak bisa!”. Seminggu lamanya
saya terpuruk. Saya seperti kehilangan diri saya sendiri. Tapi, tidak setelah
sebuah artikel di internet selesai ku baca. Tentang sebuah teori psikologi
rendah diri, Alfred Adler.
Manusia, kata Alfred Adler,
terlahir dengan rasa rendah dirinya. Ia selalu bergantung kepada orang-orang di
sekitarnya karena segala ketidakmampuannya. Lalu akan datang suatu hari ketika
ia menyadari bahwa ketidakmampuan yang ada pada dirinya adalah sebuah
kelemahan. Dari sanalah perasaan rendah diri muncul. Membawa manusia kepada dua
kemungkinan respon, meningkatkan kemampuan diri atau menarik diri. Bahwa
perasaan rendah diri akan menjadi dorongan manusia untuk menjadikan dirinya
seperti sesuatu yang mereka idealkan. Misal, dalam konteks mengajar, kita tidak
akan tahu seberapa kurangnya kompetensi kita jika tidak dalam kondisi sadar dan
selalu berefleksi serta mengevaluasi diri. Kita akan menyadari beberapa hal
bahwa ternyata kita lemah dalam penguasaan materi, atau lemah dalam
pengkondisian kelas. Kita memberikan ukuran ideal dalam menggambarkan dua
permasalahan tadi, dan kita menyadari bahwa kita belum di titik itu.
Ada dua sikap yang seringkali
muncul dalam merespon kekurangan-kekurangan kita. Pertama, meningkatkan diri, berusaha mengatasi kekurangan dengan
kesadaran lifelong learning. Bahwa dalam
menjalani hidup kita selalu belajar. Kedua,
menarik diri. Sikap itu lah yang kerap kita ambil ketika kita lupa bahwa hidup
adalah persoalan melampaui, bukan lari. Memilih lari dari masalah dengan
keyakinin diri “saya tidak bisa, ini bukan saya, saya tidak cocok disini”
adalah sikap rendah diri yang membuat kita berhenti bermain Super Mario,
padahal sejak awal kita sepakat untuk memenangkan permainan. Tapi, keputusanmu
menarik diri membuatmu berpindah ke permainan yang lain. Ketika kamu menemukan
dirimu tak berdaya dalam permainan yang baru, kamu menyerah dan berpindah ke
permainan selanjutnya, bermain-menyerah, bermain-menyerah, dan seterusnya.
Lalu, suatu hari kamu menyadari bahwa tidak ada satu pun permainan yang kamu
selesaikan. Kamu terlalu sibuk menyerah dan lari. Tidak ada satu kompetensi
yang benar-benar kamu kuasai. Kamu melewatkan hidup dengan menghindari belajar.
Dari sanalah saya terhenyak.
Bahwa ternyata perasaan rendah diri bukan perasaan yang mengingatkan kita
tentang betapa tidak mampunya kita, tapi sebuah reminder untuk “selesaikan
permainan!”. Lalu ketika kita berhasil menyelesaikan permainan, kita akan
bertemu dengan perasaaan rendah diri yang lain di permainan yang baru. Begitu
seterusnya.
Selamat melampaui diri dan berhenti mengeluh!
Selamat melampaui diri dan berhenti mengeluh!