Tidak ada yang salah dari mengukur kemampuanmu sendiri. Memperkirakan sejauh mana kakimu bisa melangkah atau secepat apa kamu bisa berlari. Tapi, jika kamu mulai membatasi diri dan banyak berceloteh tentang ketidakmampuanmu melakukan sesuatu sebelum kamu mencobanya, maka, hal itu sama saja bahwa kamu tidak lebih baik mengenal dirimu sendiri dibandingkan orang lain mengenalmu.
*Mengehembuskan nafas*
Akhirnya, perkuliahan semester 5 telah terlampaui. Meski IPK belum ujuk gigi tapi resahnya telah terobati. Banyak yang mengeluh, “semester 5 banyak tugas, semester 5 dosennya om killer om, semester 5 banyak observasi, semester 5 nano-nano, semester 5 jomblo,” tapi, siapa pun tahu, mengeluh tidak menyelesaikan tumpukan revisi di dalam laci.
#sayatidakmengeluh
Kala itu, ditengah kepungan tugas kuliah, aku duduk di depan meja kantor─tempat dimana aku bekerja─ hingga jam 8 malam. Pulang-pulang kelelahan, tidur sejenak, jika ada tugas kuliah ya bangun lagi dini hari. Setiap hari begitu. Bukan lagi kebetulan, aku memang memutuskan untuk kuliah sambil bekerja *bukan sebaliknya*. Tapi, kenapa hanya aku yang tidak mengeluh dari cobaan semester 5? Padahal, dibandingkan dengan mereka, waktuku terbatas. Dan tentu, mereka memiliki lebih banyak waktu, baaaaanyak!
Tapi, di sisi lain, sepertinya aku juga terlalu memaksakan diri. Sering mengabaikan rasa lelah hingga sekali dua kali berteman dengan antibiotik dan anti iflamasi (jenis obat). Tapi, itu tidak cukup membuatku sadar hingga kecelakaan di persimpangan jalan itu. Seminggu menginap di rumahsakit dengan suntikan penghilang rasa sakit membuatku berpikir dua kali. Aku sadar bahwa aku lelah. Aku butuh istirahat.